Korupsi dalam proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat (Kalbar) kembali mencuat. Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipidkor) Polri mengungkapkan adanya dugaan kerugian negara yang mencapai angka fantastis, yaitu 64.410.523 dollar AS dan Rp 323.199.898.518. Jika dikonversikan ke dalam rupiah, total kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 1,3 triliun. Kasus ini menyeret sejumlah nama besar, termasuk mantan Direktur Utama PT PLN (Persero) dan seorang pengusaha yang juga merupakan adik dari mantan Wakil Presiden. Dugaan permufakatan jahat antara para tersangka menjadi sorotan utama dalam kasus ini. Proses perencanaan hingga pelaksanaan proyek disinyalir diwarnai dengan praktik korupsi yang sistematis, mengakibatkan proyek PLTU 1 Kalbar mangkrak dan menimbulkan kerugian negara yang sangat besar.
Penetapan Tersangka dalam Kasus Korupsi PLTU Kalbar
Kortas Tipidkor Polri telah menetapkan empat orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek PLTU 1 Kalbar. Salah satu tersangka yang menjadi sorotan adalah mantan Direktur Utama PT PLN (Persero), Fahmi Mochtar. Selain itu, seorang pengusaha bernama Halim Kalla, yang juga menjabat sebagai Presiden Direktur PT Bakti Resa Nusa, turut ditetapkan sebagai tersangka. Halim Kalla sendiri merupakan adik dari Wakil Presiden ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla. Dua tersangka lainnya adalah pihak swasta dengan inisial RR dan HYL. Penetapan tersangka ini merupakan hasil pengembangan kasus yang dilakukan oleh Kortas Tipidkor setelah mengambil alih penanganan perkara dari Polda Kalimantan Barat.
Dugaan Permufakatan Jahat dan Modus Operandi
Irjen Cahyono Wibowo, Kepala Kortas Tipidkor Polri, mengungkapkan adanya dugaan permufakatan jahat di antara para tersangka untuk mengatur proyek PLTU 1 Kalbar. Modus operandi yang terungkap menunjukkan bahwa praktik korupsi telah terjadi sejak awal perencanaan proyek. Terdapat indikasi kuat adanya korespondensi dan kesepakatan tersembunyi yang bertujuan untuk memenangkan pihak-pihak tertentu dalam pelaksanaan pekerjaan. Setelah kontrak ditandatangani, terjadi pengaturan-pengaturan yang mengakibatkan keterlambatan proyek secara signifikan. Akibatnya, proyek PLTU 1 Kalbar mangkrak sejak tahun 2008 hingga 2018 dan dinyatakan total loss oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Dampak Mangkraknya Proyek PLTU terhadap Kerugian Negara
Mangkraknya proyek PLTU 1 Kalbar telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar. Berdasarkan perhitungan Kortas Tipidkor Polri, kerugian negara mencapai 64.410.523 dollar AS dan Rp 323.199.898.518. Jika dikonversikan ke dalam rupiah, total kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 1,3 triliun. Kerugian ini tidak hanya berdampak pada keuangan negara, tetapi juga menghambat penyediaan energi listrik bagi masyarakat Kalimantan Barat. Proyek PLTU 1 Kalbar yang seharusnya dapat memenuhi kebutuhan listrik wilayah tersebut, justru menjadi beban karena mangkrak dan menimbulkan kerugian yang signifikan.
Proses Hukum dan Pasal yang Disangkakan
Kasus dugaan korupsi proyek PLTU 1 Kalbar ini bermula dari penanganan oleh Polda Kalimantan Barat sejak 7 April 2021. Namun, pada Mei 2024, Kortas Tipidkor Polri mengambil alih penanganan perkara tersebut. Setelah melalui serangkaian penyelidikan dan penyidikan, Kortas Tipidkor menetapkan empat orang sebagai tersangka pada 3 Oktober 2025. Para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 KUHP. Meskipun telah ditetapkan sebagai tersangka, polisi belum melakukan penahanan terhadap Halim Kalla dan tersangka lainnya.