Macan kumbang bernama Mancak, yang ditemukan di wilayah Serang, Banten, pada Maret 2025 lalu, kini tengah berjuang melawan dua virus mematikan, Canine Distemper Virus (CDV) dan Feline Panleukopenia Virus (FPV). Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai masa depannya, terutama terkait kemungkinan untuk kembali ke habitat alaminya. Proses pemulihan dan rehabilitasi Mancak menjadi sorotan, dengan berbagai pertimbangan medis dan perilaku yang harus diperhatikan secara seksama. Tim dokter hewan dan ahli konservasi bekerja keras untuk memastikan kesehatan dan kesiapan Mancak sebelum keputusan penting diambil. Nasib Mancak menjadi cerminan tantangan konservasi satwa liar di tengah ancaman penyakit dan perubahan lingkungan. Upaya penyelamatan dan perawatan intensif ini diharapkan dapat memberikan harapan baru bagi kelangsungan hidup macan kumbang dan satwa liar lainnya di Indonesia. Kisah Mancak juga menjadi pengingat akan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem dan mencegah penyebaran penyakit di antara populasi satwa liar.
Identifikasi Penyakit dan Perawatan Intensif Macan Kumbang Mancak
Yohana Tri Hastuti, dokter hewan senior yang menangani Mancak di Taman Safari Indonesia (TSI) Bogor, menjelaskan bahwa proses identifikasi penyakit yang diderita Mancak tidaklah mudah. Awalnya, Mancak menunjukkan gejala stres berat dan kehilangan nafsu makan, sebuah respons yang tidak biasa bagi satwa liar yang baru ditangkap. Tim medis TSI Bogor memutuskan untuk tidak langsung melakukan tindakan medis drastis, melainkan memberikan waktu bagi Mancak untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya.
Setelah sekitar sepuluh hari, pemeriksaan fisik lengkap dan pengambilan sampel darah dilakukan untuk mengetahui kondisi kesehatan Mancak secara menyeluruh. Hasilnya mengejutkan, meskipun uji antibodi menunjukkan hasil negatif, tes PCR mengonfirmasi adanya dua virus infeksius, yaitu CDV dan FPV. Karena kedua penyakit ini disebabkan oleh virus, penanganan yang diberikan difokuskan pada penguatan daya tahan tubuh Mancak melalui pemberian vitamin, perawatan suportif, pengawasan ketat, dan isolasi penuh untuk mencegah penularan ke macan tutul lainnya.
Perhatian Khusus pada Kondisi Neurologis dan Insting Alamiah
Selain penanganan medis, tim dokter hewan juga memberikan perhatian khusus pada kondisi neurologis dan insting alamiah Mancak. Sejak awal, Mancak tidak menunjukkan perilaku liar yang khas. Ia tidak agresif dan tidak memiliki respons memangsa yang kuat. Kondisi ini menjadi catatan penting dalam mempertimbangkan kemungkinan pelepasliaran Mancak ke habitat aslinya. Pemantauan perilaku Mancak dilakukan secara intensif untuk memahami lebih dalam karakteristik dan kemampuannya.
Pada bulan Agustus, tim medis menemukan adanya infeksi parasit darah (filaria) pada Mancak, namun berhasil diatasi dengan pengobatan yang tepat. Kondisi fisik Mancak kini stabil, nafsu makannya meningkat, gerakannya aktif, dan ia mulai menunjukkan pola perilaku yang lebih wajar. Meskipun demikian, status infeksi viralnya belum dinyatakan bersih dan diperlukan pemeriksaan ulang untuk memastikan virus tersebut tidak aktif atau sudah terbentuk antibodi.
Peluang Pelepasliaran dan Tantangan yang Dihadapi
Meskipun kondisi Mancak menunjukkan perkembangan positif, keputusan untuk melepasliarkannya ke habitat aslinya tidak dapat diambil dengan terburu-buru. Yohana Tri Hastuti menekankan bahwa keputusan akhir berada di tangan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Barat, sebagai pihak yang memiliki mandat konservasi. TSI Bogor hanya berperan sebagai tim perawatan dan pengelola fasilitas.
Dari perspektif medis, ada beberapa hal penting yang harus dipertimbangkan secara serius sebelum Mancak dapat dilepasliarkan. Selain risiko penularan virus jika Mancak masih menjadi carrier, aspek perilakunya juga menjadi perhatian utama. Macan tutul liar biasanya agresif, responsif, dan memiliki naluri berburu yang kuat. Perilaku Mancak yang berbeda sejak awal menimbulkan pertanyaan mengenai kemampuannya untuk bertahan hidup di alam liar.
Pertimbangan Keamanan dan Kelangsungan Hidup Macan Kumbang
Proses pelepasliaran satwa liar, termasuk macan tutul, tidak sesederhana membuka kandang dan membiarkannya kembali ke hutan. Melepas hewan yang belum pulih sepenuhnya justru dapat membuatnya kembali ke area berpenduduk dan berisiko menimbulkan konflik dengan manusia. Agus Arianto, Kepala Balai BKSDA Jawa Barat, menegaskan bahwa seluruh aspek kesehatan dan perilaku Mancak harus diverifikasi terlebih dahulu sebelum keputusan pelepasliaran diambil. Kondisi habitat juga harus ditelaah untuk memastikan kecukupan makanan alami, kemampuan lingkungan dalam menopang kehidupan satwa, dan ancaman aktivitas manusia.
Meskipun ada tantangan yang harus dihadapi, tidak menutup kemungkinan Mancak dapat kembali ke habitat aslinya asalkan seluruh kajian kesehatan dan perilaku menyatakan aman. Hal ini mencakup pemeriksaan ulang CDV dan FPV, pengamatan intensif mengenai kemampuan berburu, orientasi ruang, respons terhadap ancaman, dan survival skills lainnya. Keamanan Mancak dan satwa lain di alam liar harus menjadi prioritas utama dalam pengambilan keputusan.
