Presiden Prabowo Subianto berencana menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) mengenai tata kelola program Makan Bergizi Gratis (MBG). Langkah ini dilakukan menyusul beberapa insiden keracunan makanan yang dialami siswa di berbagai daerah, yang menimbulkan kekhawatiran akan keamanan dan kualitas program ini. Menanggapi rencana tersebut, berbagai catatan dan masukan muncul dari para legislator di DPR RI, menekankan perlunya evaluasi menyeluruh dan perbaikan dalam pelaksanaan MBG. Program MBG sendiri, yang bertujuan untuk meningkatkan gizi anak-anak Indonesia sebagai generasi penerus bangsa, dipandang penting oleh berbagai pihak, termasuk Presiden Prabowo. Namun, implementasinya memerlukan perhatian serius terhadap standar keamanan pangan, tata kelola yang baik, serta pengawasan yang ketat untuk mencegah kejadian yang tidak diinginkan. Peran aktif dari berbagai pihak, termasuk pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat, sangat dibutuhkan untuk memastikan keberhasilan program ini. Perpres ini diharapkan menjadi landasan hukum yang kuat untuk mengatur semua aspek terkait MBG, mulai dari standar gizi hingga mekanisme pengawasan dan evaluasi.
Dukungan DPR RI terhadap Penerbitan Perpres MBG
Ketua DPR RI, Puan Maharani, secara terbuka mendukung penerbitan Perpres MBG. Ia menekankan pentingnya mengevaluasi program MBG secara menyeluruh demi kepentingan generasi penerus bangsa. Puan Maharani juga menyampaikan bahwa Presiden Prabowo sendiri mengakui pentingnya program ini dalam meningkatkan gizi anak-anak di seluruh Indonesia. Dukungan ini mencerminkan komitmen DPR RI dalam memastikan program MBG berjalan efektif dan memberikan manfaat yang optimal bagi anak-anak Indonesia.
Evaluasi total terhadap program ini dianggap krusial untuk mengidentifikasi kelemahan dan area yang perlu diperbaiki. Dengan adanya Perpres, diharapkan implementasi MBG dapat lebih terarah dan terkoordinasi, sehingga tujuan peningkatan gizi anak-anak Indonesia dapat tercapai.
Perlunya Investigasi dan Sanksi dalam Perpres
Wakil Ketua Komisi IX DPR, Yahya Zaini, menyoroti perlunya memasukkan ketentuan mengenai investigasi dan sanksi dalam Perpres MBG. Hal ini dianggap penting untuk memastikan akuntabilitas dan mencegah terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan program. Yahya Zaini juga menekankan pentingnya mengatur koordinasi antar kementerian dan lembaga terkait dalam Perpres.
Menurutnya, kasus keracunan MBG yang terjadi di beberapa daerah disebabkan oleh Standar Operasional Prosedur (SOP) yang tidak dijalankan dengan benar, serta lemahnya pengawasan terhadap makanan yang disajikan. Oleh karena itu, Perpres harus mengatur secara jelas tugas, fungsi, dan kewenangan Badan Gizi Nasional (BGN), bentuk kerja sama dengan kementerian/lembaga lain, tata kelola dan SOP, serta mekanisme pengawasan dan investigasi.
Catatan dari Komisi IX DPR Fraksi PAN terkait Perpres MBG
Anggota Komisi IX DPR Fraksi PAN, Ashabul Kahfi, memberikan sejumlah catatan penting terkait hal-hal yang perlu diatur dalam Perpres MBG. Salah satu poin utama yang ditekankan adalah standar keamanan pangan, termasuk mekanisme uji laboratorium oleh Labkesda dan Kesling, serta larangan penggunaan pangan ultra-proses yang berlebihan. Hal ini bertujuan untuk memastikan makanan yang disajikan dalam program MBG aman dan sehat bagi anak-anak.
Selain itu, Ashabul Kahfi juga menyoroti perlunya pengaturan tata kelola dan koordinasi yang jelas antara pemerintah pusat dan daerah. Ia mengingatkan agar tidak semua hal ditarik ke pemerintah pusat, tetapi pemerintah daerah juga diberikan ruang gerak yang lebih besar karena mereka yang paling dekat dengan sekolah dan puskesmas. Sistem monitoring dan evaluasi juga harus berlapis dan melibatkan masyarakat serta penerima manfaat, dengan kanal pengaduan publik yang mudah diakses dan responsif.
Standar Gizi dan Batas Produksi Dapur dalam Perpres
Anggota Komisi IX DPR RI, Nurhadi, menekankan perlunya mengatur standar gizi MBG hingga batas produksi dapur dalam Perpres. Hal ini bertujuan untuk memastikan program MBG tidak hanya menyediakan makanan, tetapi juga memenuhi kebutuhan gizi yang sesuai usia anak dan standar kesehatan yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan. Mekanisme distribusi dan pengawasan juga perlu diatur untuk mencegah ketimpangan atau potensi penyalahgunaan anggaran di lapangan.
Nurhadi juga menyoroti pentingnya pemberdayaan daerah dan mitra penyedia, serta melibatkan pemerintah daerah dan sekolah secara penuh. Kualifikasi dan kompetensi tenaga di lapangan juga harus diperhatikan, dengan setiap dapur atau Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) memiliki tiga stakeholder utama yang dilatih sesuai bidangnya, yaitu kepala dapur atau Kepala SPPG, akuntan, dan ahli gizi. Pembatasan kapasitas produksi dapur juga perlu dilakukan untuk menjaga kualitas makanan, misalnya dengan menetapkan jumlah penerima per dapur maksimal 2.500 porsi per hari.