Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengumumkan bahwa Hamas menyatakan kesiapannya untuk membebaskan seluruh sandera yang ditahan sejak serangan 7 Oktober 2023. Pernyataan ini muncul setelah Hamas menanggapi proposal 20 poin yang diajukan Trump dengan tujuan mengakhiri konflik di Gaza. Trump menyampaikan pengumuman tersebut melalui Truth Social, pada Minggu (5/10), walaupun Hamas belum sepenuhnya menyetujui semua poin dalam proposal tersebut, termasuk tuntutan untuk melucuti senjata dan tidak mengambil peran dalam pemerintahan Gaza di masa mendatang.
Trump menekankan bahwa respons dari Hamas menunjukkan adanya peluang nyata untuk mencapai perdamaian abadi. Dia mendesak Israel untuk segera menghentikan pengeboman di Gaza agar proses pembebasan sandera dapat berlangsung dengan aman dan cepat. Sementara itu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan bahwa Israel tengah bersiap untuk melaksanakan fase pertama dari rencana Trump yang berfokus pada pembebasan seluruh sandera. Kantor Netanyahu menambahkan bahwa Israel akan terus bekerja sama secara penuh dengan Trump dan timnya untuk mengakhiri perang sesuai dengan prinsip-prinsip yang sejalan dengan visi presiden AS tersebut.
Reaksi Trump dan Respons Hamas: Sebuah Kejutan bagi Netanyahu
Respons cepat Trump diumumkan hanya satu jam setelah Hamas merilis tanggapan yang terdiri dari enam paragraf. Langkah ini secara efektif mendahului reaksi resmi dari Israel, termasuk Netanyahu, yang sebelumnya telah didorong oleh Trump untuk menerima rencana perdamaian ini. Trump juga menyoroti peran penting negara-negara seperti Qatar, Turki, Arab Saudi, Mesir, dan Yordania dalam upaya mediasi ini, namun secara signifikan tidak menyebut nama Netanyahu dalam pidatonya. Dengan tindakan ini, Trump secara tidak langsung menempatkan tanggung jawab kepada Israel untuk menghentikan serangan di Gaza dan membuka jalan bagi negosiasi lebih lanjut.
Seorang sumber dari Israel mengungkapkan kepada CNN bahwa pernyataan Trump sangat mengejutkan Netanyahu. Kejutan ini termasuk perintah langsung dari Trump agar Israel menghentikan pengeboman di Kota Gaza, yang memaksa militer Israel untuk menghentikan sementara serangan mereka. Situasi ini menunjukkan adanya dinamika baru dalam hubungan antara AS dan Israel, di mana Trump mengambil inisiatif yang lebih kuat dalam mendorong perdamaian.
Pembentukan Tim Negosiasi Israel dan Tahap Awal Penarikan Pasukan
Menyusul perkembangan ini, Israel tengah mempersiapkan tim negosiasi untuk membahas lebih lanjut rencana gencatan senjata yang telah diajukan. Trump mengumumkan bahwa Israel telah menyetujui tahap awal penarikan pasukan, yang juga telah dikomunikasikan kepada Hamas. Ia menjelaskan bahwa begitu Hamas mengkonfirmasi persetujuan mereka terhadap rencana tersebut, gencatan senjata akan segera diberlakukan, dan proses pertukaran sandera serta tahanan akan dimulai. Setelah itu, tahap penarikan pasukan berikutnya dapat dilaksanakan secara bertahap.
Menurut Trump, langkah-langkah ini akan membawa wilayah tersebut semakin dekat pada akhir konflik yang menurutnya telah berlangsung selama ribuan tahun. Pernyataan ini mencerminkan keyakinan Trump bahwa rencana perdamaian yang diusulkannya memiliki potensi untuk menyelesaikan akar masalah konflik yang berkepanjangan.
Peran Utusan Khusus dan Tantangan yang Masih Ada
Trump menunjuk utusannya, Steve Witkoff, dan menantunya, Jared Kushner, untuk melakukan perjalanan ke Mesir pada akhir pekan ini. Tujuan dari perjalanan ini adalah untuk membahas secara rinci proses pembebasan sandera serta aspek-aspek lain dari rencana perdamaian yang lebih luas. Penunjukan ini menunjukkan keseriusan Trump dalam mengawal implementasi rencana tersebut dan memastikan semua pihak terlibat memahami dan menyetujui detail-detail penting.
Meskipun Trump menyoroti kesediaan Hamas untuk terlibat dalam proses perdamaian, beberapa sekutunya merespons dengan lebih hati-hati. Senator Lindsey Graham menggambarkan tanggapan Hamas sebagai "setuju, tapi masih ada syarat", mengindikasikan bahwa masih ada kekhawatiran terkait pelucutan senjata Hamas, kontrol mereka atas Gaza, dan keterkaitan pembebasan sandera dengan negosiasi lebih lanjut. Trump sendiri mengakui bahwa masih ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan terkait rincian rencana tersebut.
Komunikasi yang Lambat dan Ultimatum Trump
Langkah Trump ini muncul setelah beberapa hari menunggu respons dari Hamas, di mana komunikasi berjalan lambat akibat perbedaan pandangan dalam kepemimpinan Hamas dan hambatan teknis dalam menyampaikan pesan. Ultimatum Trump sebelumnya bertujuan untuk mempercepat tanggapan Hamas dan menunjukkan urgensi yang dirasakan oleh pihak AS dalam menyelesaikan konflik ini. Proposal perdamaian Trump disusun setelah serangan Israel di Qatar terhadap pimpinan Hamas bulan lalu, yang dianggap Trump dan pejabat AS merusak upaya mediasi yang sedang berlangsung.
Pertemuan Trump dengan Netanyahu, serta pembicaraan dengan Qatar, dianggap krusial untuk menjaga jalannya negosiasi dan memastikan Israel mendukung rencana tersebut. Meski terdapat perbedaan pandangan dan tantangan, Trump bersikeras bahwa rencana ini menjadi peluang terakhir untuk menyelesaikan konflik melalui negosiasi, sekaligus menempatkan Netanyahu dalam posisi yang sulit, yakni menerima tanggapan Hamas atau berisiko kehilangan dukungan dari sekutu internasional utamanya.