Laporan terbaru dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Oktober 2025 menyoroti ancaman resistensi antimikroba (AMR) yang semakin mengkhawatirkan. Kondisi ini menyebabkan banyak infeksi bakteri menjadi kebal terhadap pengobatan standar. Di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, satu dari tiga infeksi bakteri sudah resisten terhadap antibiotik. Padahal, antibiotik telah menjadi andalan dunia medis selama hampir satu abad. Situasi ini diperparah dengan data yang menunjukkan peningkatan kasus infeksi bakteri yang tidak merespons terhadap berbagai jenis antibiotik, termasuk sefalosporin generasi ketiga, fluoroquinolon, dan karbapenem. Resistensi antibiotik tidak hanya memperpanjang masa rawat inap dan meningkatkan angka kematian, tetapi juga berdampak besar pada ekonomi global dan nasional.
Meningkatnya Resistensi Antimikroba: Ancaman Global yang Nyata
Resistensi antimikroba (AMR) menjadi masalah kesehatan global yang semakin mendesak. Data menunjukkan bahwa satu dari enam infeksi bakteri di seluruh dunia kini resisten terhadap terapi antibiotik standar. Situasi ini lebih buruk di Asia Tenggara, di mana satu dari tiga infeksi bakteri menunjukkan resistensi. Hal ini berarti antibiotik, yang selama ini menjadi senjata utama melawan infeksi bakteri, kehilangan efektivitasnya. Laporan dari The Lancet Global Burden of Bacterial Antimicrobial Resistance menyebutkan bahwa lebih dari 4,7 juta kematian setiap tahun terkait dengan infeksi bakteri yang resisten terhadap antibiotik, dengan 1,1 juta kematian disebabkan langsung oleh resistensi tersebut. Kondisi ini mengancam kemajuan medis modern dan dapat membawa kita kembali ke era pra-antibiotik.
Bakteri Resisten Antibiotik: Kasus di Indonesia
Di Indonesia, masalah resistensi antibiotik juga semakin serius. Data Antimicrobial Resistance Surveillance Indonesia 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 70% isolat rumah sakit menghasilkan enzim ESBL (Extended-Spectrum Beta-Lactamase), terutama dari bakteri
E. coli dan
Klebsiella. Artinya, sebagian besar infeksi bakteri umum tidak lagi dapat diobati dengan antibiotik lini pertama. Penelitian di Universitas Airlangga juga menunjukkan bahwa infeksi
Acinetobacter baumannii yang resisten terhadap karbapenem dapat menggandakan biaya rawat inap. Situasi ini menunjukkan bahwa resistensi antibiotik telah menjadi masalah nyata di fasilitas kesehatan di Indonesia dan membutuhkan perhatian segera.
Penggunaan Antibiotik yang Tidak Tepat: Faktor Penyebab Utama
Salah satu penyebab utama meningkatnya resistensi antibiotik adalah penggunaan yang tidak tepat. Di masyarakat, diperkirakan 40-60% penggunaan antibiotik tidak rasional, baik karena resep yang tidak tepat, durasi pengobatan yang salah, atau konsumsi tanpa indikasi medis. Antibiotik seringkali digunakan untuk mengobati penyakit virus seperti influenza, yang tidak efektif sama sekali. Selain itu, antibiotik mudah didapatkan tanpa resep dokter, memperburuk masalah ini. Akibatnya, bakteri resisten dapat dengan mudah berpindah antara komunitas dan rumah sakit, menciptakan rantai infeksi yang sulit diatasi.
Dampak Resistensi Antibiotik pada Sistem Kesehatan dan Ekonomi
Resistensi antibiotik memiliki dampak yang signifikan pada sistem kesehatan dan ekonomi. Pasien dengan infeksi resisten antibiotik memerlukan rawat inap yang lebih lama, meningkatkan risiko kematian, dan menyebabkan klaim BPJS Kesehatan yang lebih besar. Rumah sakit seringkali harus menggunakan antibiotik cadangan yang lebih mahal dan toksik. Secara makro, Bank Dunia memperkirakan bahwa resistensi antibiotik dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi global hingga 3,8% per tahun pada tahun 2050 dan mendorong jutaan orang ke dalam kemiskinan. Bagi Indonesia, hal ini berarti tekanan yang lebih besar pada pembiayaan kesehatan nasional, produktivitas tenaga kerja, dan stabilitas ekonomi keluarga.
Strategi Mengatasi Resistensi Antibiotik: Pendekatan Komprehensif
Mengatasi resistensi antibiotik memerlukan pendekatan komprehensif yang melibatkan berbagai pihak. Antibiotik harus dipandang sebagai sumber daya strategis, bukan hanya sebagai obat biasa. Implementasi antimicrobial stewardship (AMS) harus diperluas ke semua fasilitas kesehatan, disertai dengan audit terapi, pelatihan dokter, dan integrasi kebijakan dengan Formularium Nasional dan sistem kendali mutu BPJS. Regulasi distribusi obat perlu ditegakkan agar penjualan antibiotik tanpa resep benar-benar dihentikan. Selain itu, insentif riset antibiotik baru dan surveilans resistensi domestik perlu diperkuat.
Pentingnya Kedisiplinan Klinis dan Literasi Publik
Kunci keberhasilan dalam mengatasi resistensi antibiotik adalah kedisiplinan klinis dan literasi publik. Dokter harus meresepkan antibiotik secara rasional dan berdasarkan bukti ilmiah. Masyarakat juga perlu diedukasi tentang penggunaan antibiotik yang tepat. Masyarakat harus memahami bahwa tidak semua demam membutuhkan antibiotik, dan menghentikan pengobatan sebelum waktunya dapat menyebabkan resistensi. Dengan meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat, kita dapat mengurangi penggunaan antibiotik yang tidak perlu dan memperlambat laju resistensi.
Masa Depan Pengobatan: Menjaga Efektivitas Antibiotik
Masalah resistensi antibiotik bukan hanya ancaman di masa depan, tetapi kenyataan saat ini. Jika tidak dikendalikan, prosedur medis dasar seperti operasi, persalinan, dan kemoterapi dapat menjadi sangat berisiko. Menjaga efektivitas antibiotik berarti menjaga keberlanjutan sistem kesehatan modern. Kebijakan yang tegas, praktik klinis yang disiplin, dan masyarakat yang cerdas adalah kunci untuk memastikan agar dunia medis tidak memasuki era di mana antibiotik tidak lagi efektif. Kita harus bertindak sekarang untuk melindungi antibiotik dan memastikan bahwa obat-obatan ini tetap efektif untuk generasi mendatang.