Tragedi ambruknya Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur, awal Oktober 2025 lalu menyisakan duka mendalam. Insiden yang menewaskan puluhan santri itu memicu keprihatinan sekaligus sorotan terhadap kondisi bangunan pesantren di Indonesia. Di tengah proses investigasi penyebab ambruknya ponpes, muncul wacana pemerintah untuk membangun kembali Al Khoziny menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Rencana ini sontak menuai beragam reaksi dari anggota DPR RI, yang mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dan mempertimbangkan aspek keadilan dalam penggunaan dana publik. Mereka menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas, serta perlunya mengkaji ulang rencana tersebut agar tidak menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan lembaga pendidikan keagamaan lainnya.
Wacana penggunaan APBN untuk perbaikan Ponpes Al Khoziny ini pertama kali diungkapkan oleh Menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody Hanggodo. Ia menyatakan bahwa meskipun sumber utama pendanaan diharapkan dari APBN, bantuan dari pihak swasta juga tidak menutup kemungkinan. Namun, rencana ini langsung memicu perdebatan di kalangan anggota dewan, yang mempertanyakan urgensi dan dasar hukum penggunaan APBN untuk kasus ini. Pertanyaan utama yang muncul adalah apakah ada unsur kelalaian dalam insiden ambruknya bangunan, dan apakah semua prosedur perizinan dan pembangunan telah dipenuhi. Jika terbukti ada kelalaian, maka pihak yang bertanggung jawab harus diproses hukum terlebih dahulu sebelum negara mengambil alih tanggung jawab pembangunan kembali.
Kritik terhadap Rencana Penggunaan APBN
Rencana perbaikan Ponpes Al Khoziny menggunakan APBN menuai kritik tajam dari berbagai pihak, terutama anggota DPR. Mereka berpendapat bahwa penggunaan dana publik harus dilakukan secara hati-hati, transparan, dan adil. Anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi Golkar, Atalia Praratya, mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang usulan ini. Ia menekankan bahwa mekanisme penggunaan APBN harus jelas dan tidak menimbulkan kesan bahwa lembaga yang lalai justru mendapatkan bantuan, sementara lembaga lain yang mengalami musibah serupa tidak mendapatkan perlakuan yang sama. Atalia juga menyoroti pentingnya penegakan hukum dalam kasus ini. Jika ada unsur kelalaian yang menyebabkan ambruknya bangunan, maka pihak yang bertanggung jawab harus diproses secara hukum.
Pertimbangan Keadilan dan Transparansi
Salah satu poin utama yang ditekankan oleh para pengkritik adalah perlunya mempertimbangkan aspek keadilan dan transparansi. Mereka khawatir bahwa jika pemerintah langsung mengalokasikan APBN untuk membangun kembali Ponpes Al Khoziny, hal itu dapat menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan pondok pesantren lain yang juga membutuhkan bantuan. Selain itu, transparansi dalam proses pengalokasian dan penggunaan dana juga menjadi perhatian utama. Masyarakat berhak tahu bagaimana dana APBN digunakan dan apakah prosesnya sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Oleh karena itu, sebelum mengambil keputusan final, pemerintah perlu melakukan kajian mendalam dan melibatkan berbagai pihak terkait, termasuk perwakilan dari pondok pesantren lain, tokoh masyarakat, dan ahli hukum.
Komisi V DPR Minta Kasus Diusut Tuntas
Ketua Komisi V DPR, Lasarus, menekankan pentingnya investigasi mendalam terhadap penyebab ambruknya Ponpes Al Khoziny. Ia tidak ingin kejadian serupa terulang kembali di masa depan. Menurutnya, sebelum memutuskan untuk membangun kembali ponpes menggunakan APBN, pemerintah harus fokus pada pengungkapan fakta dan penyebab terjadinya tragedi tersebut. Lasarus juga menyoroti perlunya mendengar aspirasi dari keluarga korban. Tragedi ini telah menewaskan puluhan santri, sehingga suara dan harapan keluarga korban harus menjadi pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan. Ia menambahkan bahwa meskipun pembangunan ponpes menggunakan APBN bukanlah hal yang tabu, namun dalam kasus ini, perlu ada proses yang jelas dan transparan agar tidak menimbulkan kesan negatif di masyarakat.
Investigasi Penyebab Ambruknya Bangunan
Komisi V DPR menekankan perlunya investigasi menyeluruh untuk mengungkap penyebab utama ambruknya Ponpes Al Khoziny. Investigasi ini harus melibatkan berbagai pihak terkait, termasuk ahli konstruksi, ahli geologi, dan pihak kepolisian. Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah ada unsur kelalaian dalam proses pembangunan atau pemeliharaan bangunan, atau apakah ada faktor lain seperti kondisi tanah yang tidak stabil yang menyebabkan terjadinya tragedi tersebut. Hasil investigasi ini akan menjadi dasar bagi pemerintah untuk mengambil tindakan yang tepat, baik dalam hal penegakan hukum maupun dalam hal pencegahan agar kejadian serupa tidak terulang kembali di masa depan.
Potensi Masalah Penggunaan APBN
Anggota Komisi V DPR dari Fraksi PAN, Ahmad Bakri, menyoroti potensi masalah yang dapat timbul akibat penggunaan APBN untuk memperbaiki Ponpes Al Khoziny. Ia mengingatkan bahwa anggaran negara terbatas, sehingga penggunaan APBN harus dilakukan secara efisien dan efektif. Bakri juga menekankan perlunya mempertimbangkan rasa keadilan bagi pondok pesantren lain yang juga membutuhkan bantuan. Jika pemerintah hanya fokus pada perbaikan Ponpes Al Khoziny, hal itu dapat menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan lembaga pendidikan keagamaan lainnya. Oleh karena itu, ia menyarankan agar pemerintah mencari solusi alternatif, seperti menggalang dana dari masyarakat atau melibatkan pihak swasta dalam proses pembangunan kembali ponpes.
Risiko Kecemburuan Sosial
Salah satu risiko utama yang dikhawatirkan oleh anggota DPR adalah potensi timbulnya kecemburuan sosial di kalangan pondok pesantren lain. Di Indonesia, terdapat ribuan pondok pesantren yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Banyak di antara mereka yang juga membutuhkan bantuan untuk memperbaiki atau membangun fasilitas pendidikan yang layak. Jika pemerintah hanya fokus pada perbaikan Ponpes Al Khoziny, hal itu dapat menimbulkan persepsi bahwa pemerintah tidak adil dan hanya memberikan perhatian kepada satu lembaga saja. Oleh karena itu, pemerintah perlu mempertimbangkan secara matang dampak sosial dari keputusannya dan memastikan bahwa semua lembaga pendidikan keagamaan mendapatkan kesempatan yang sama untuk mendapatkan bantuan.