Rencana pemerintah untuk memperbaiki Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny yang ambruk di Sidoarjo, Jawa Timur, menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) telah memicu perdebatan dan kritik dari berbagai pihak, terutama anggota DPR RI. Tragedi yang menewaskan puluhan santri ini masih menyisakan duka mendalam, dan wacana penggunaan APBN untuk membangun kembali ponpes tersebut dianggap prematur oleh sebagian kalangan. Mereka mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dan mempertimbangkan rasa keadilan, mengingat banyak lembaga pendidikan lain yang juga membutuhkan bantuan. Selain itu, proses hukum terkait dugaan kelalaian dalam pembangunan ponpes juga masih berjalan, sehingga penggunaan APBN dinilai bisa menimbulkan kesan bahwa negara menanggung kesalahan pihak yang lalai.
Rencana Perbaikan Ponpes Al Khoziny dengan APBN Menuai Sorotan
Menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody Hanggodo mengungkapkan bahwa pemerintah berencana menggunakan APBN untuk membangun kembali Ponpes Al Khoziny. Meskipun tidak menutup kemungkinan adanya bantuan dari pihak swasta, APBN menjadi sumber utama pendanaan sementara. Anggaran ini akan disalurkan melalui Kementerian Agama, namun karena kondisi darurat, Kementerian PU akan turun tangan langsung. Rencana ini kemudian memicu reaksi keras dari berbagai pihak, terutama anggota DPR RI. Mereka mempertanyakan urgensi dan keadilan dari penggunaan APBN dalam situasi ini. Kritikan ini berfokus pada perlunya kehati-hatian dan transparansi dalam penggunaan anggaran negara.
Kritik Anggota DPR Terhadap Penggunaan APBN
Anggota Komisi VIII DPR RI, Atalia Praratya, mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang rencana penggunaan APBN untuk memperbaiki Ponpes Al Khoziny. Ia menekankan pentingnya mekanisme yang jelas dan adil dalam penggunaan APBN. Atalia juga menyoroti perlunya memastikan proses hukum berjalan dengan baik agar kebijakan yang diambil tidak menimbulkan kecemburuan sosial. Ia memahami kegelisahan masyarakat dan mengingatkan agar tidak muncul kesan bahwa lembaga yang lalai justru mendapat bantuan, sementara banyak lembaga lain yang mengalami musibah tidak mendapatkan perlakuan serupa. Menurutnya, penegakan hukum dan keadilan bagi korban harus menjadi prioritas utama.
- Prioritaskan Keadilan: Proses hukum harus ditegakkan terlebih dahulu.
- Perlindungan Santri: Negara wajib melindungi santri dan keberlangsungan pendidikan keagamaan di semua pesantren.
- Kajian Ulang: Pemerintah harus mengkaji ulang rencana penggunaan APBN.
Komisi V DPR Minta Investigasi Tuntas Kasus Ambruknya Ponpes
Ketua Komisi V DPR RI, Lasarus, berpendapat bahwa pemerintah sebaiknya fokus pada investigasi penyebab ambruknya Ponpes Al Khoziny. Ia tidak ingin kejadian serupa terulang kembali di masa depan. Lasarus menekankan perlunya mengkaji ulang penggunaan APBN dalam kasus ini, terutama jika terbukti ada unsur kelalaian. Ia juga meminta pemerintah untuk mendengarkan aspirasi dari keluarga korban dan masyarakat luas. Lasarus menegaskan bahwa meskipun banyak ponpes dibangun menggunakan APBN, kasus Ponpes Al Khoziny berbeda karena adanya unsur kelalaian yang menyebabkan puluhan santri meninggal dunia.
- Investigasi Mendalam: Investigasi penyebab robohnya ponpes harus menjadi prioritas.
- Dengarkan Aspirasi Korban: Pemerintah perlu mendengarkan suara keluarga korban.
- Kaji Ulang Penggunaan APBN: Penggunaan APBN perlu dikaji ulang dalam kasus ini.
Potensi Masalah Akibat Penggunaan APBN
Anggota Komisi V DPR RI, Ahmad Bakri, juga menyoroti rencana perbaikan Ponpes Al Khoziny menggunakan APBN. Ia mengingatkan bahwa anggaran negara terbatas dan penggunaan APBN untuk kasus ini berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial dari pondok pesantren lain. Bakri mengakui bahwa Kementerian PU memiliki direktorat yang bertugas membangun dan memperbaiki infrastruktur sekolah, namun ia tetap mengingatkan agar pemerintah berhati-hati dalam mengambil keputusan terkait penggunaan APBN.
Penggunaan APBN untuk memperbaiki Ponpes Al Khoziny masih menjadi perdebatan. Pemerintah perlu mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk proses hukum yang sedang berjalan, rasa keadilan masyarakat, dan potensi kecemburuan sosial dari lembaga pendidikan lain. Keputusan yang diambil harus transparan dan akuntabel demi menjaga kepercayaan publik.