Mayoritas mata uang di kawasan Asia mengalami tekanan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan pagi hari ini. Penguatan indeks dolar AS (DXY) yang kembali menembus level psikologis 100 menjadi pemicu utama pelemahan mata uang-mata uang tersebut. Sentimen ini diperkuat oleh pergeseran ekspektasi pasar terhadap kebijakan moneter The Federal Reserve (The Fed). Probabilitas pemangkasan suku bunga pada pertemuan FOMC Desember turun signifikan, mencerminkan pandangan bahwa The Fed akan mempertahankan kebijakan yang ketat di tengah ketidakpastian ekonomi AS. Investor juga menanti rilis data tenaga kerja AS, yang menambah ketidakpastian bagi pelaku pasar. Kondisi ini membuat pelaku pasar berhati-hati dan mendorong dolar kembali menguat.
Rupiah dan Ringgit Tertekan Paling Dalam
Ringgit Malaysia mencatatkan pelemahan terdalam, merosot 0,31% menjadi MYR 4,161/US$. Rupiah Garuda mengikuti dengan koreksi terbesar kedua, melemah 0,30% menjadi Rp16.740/US$. Pelemahan ini menempatkan rupiah dan ringgit sebagai mata uang yang paling merana di antara mata uang Asia lainnya. Faktor-faktor seperti sentimen pasar global dan kondisi ekonomi domestik turut mempengaruhi pelemahan kedua mata uang ini. Investor asing cenderung menghindari aset berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia dan Malaysia, ketika dolar AS menguat.
Dampak Penguatan Dolar AS terhadap Mata Uang Asia Lainnya
Selain rupiah dan ringgit, mata uang Asia lainnya juga tidak luput dari tekanan akibat menguatnya dolar AS. Peso Filipina turun 0,23%, yen Jepang tertekan 0,17%, baht Thailand turun 0,15%, dolar Taiwan melemah 0,13%, dan won Korea terkoreksi 0,09%. Yuan China juga ikut melemah 0,09%, menunjukkan tekanan yang relatif seragam di kawasan. Meskipun pelemahannya bervariasi, secara keseluruhan mata uang Asia menghadapi tantangan yang sama, yaitu tekanan dari penguatan dolar AS.
Dong Vietnam Jadi Pengecualian
Di tengah mayoritas mata uang Asia yang melemah, hanya dong Vietnam (VND) yang mampu mencatatkan penguatan tipis 0,02% menjadi VND 26.371/US$. Hal ini menjadikan dong Vietnam sebagai satu-satunya mata uang Asia yang bergerak positif pada perdagangan pagi ini. Stabilitas ekonomi Vietnam dan kebijakan pemerintah yang mendukung ekspor menjadi faktor penentu penguatan mata uang tersebut.
Pergeseran Ekspektasi Kebijakan The Fed
Penguatan dolar AS tidak terlepas dari pergeseran ekspektasi pasar terhadap arah kebijakan moneter The Federal Reserve (The Fed). Probabilitas pemangkasan suku bunga pada pertemuan FOMC Desember turun signifikan, dari 42,4% menjadi hanya sekitar 33%. Penurunan ekspektasi ini mencerminkan pandangan bahwa The Fed kemungkinan besar masih akan mempertahankan sikap kebijakan yang ketat di tengah ketidakpastian ekonomi AS. Notulen rapat The Fed juga menunjukkan bahwa sebagian anggota komite menilai pemangkasan suku bunga dalam waktu dekat masih tidak tepat.
Data Tenaga Kerja AS Jadi Sorotan
Investor kini menanti rilis data tenaga kerja AS khususnya non-farm payrolls edisi September yang sempat tertunda. Penantian ini menambah lapisan ketidakpastian baru bagi pelaku pasar. Pemerintah AS telah mengonfirmasi bahwa data payroll Oktober dan November tidak akan diterbitkan sebelum pertemuan FOMC Desember, sehingga pasar kehilangan salah satu indikator penting untuk memproyeksikan arah kebijakan moneter. Ketidakpastian inilah yang membuat pelaku pasar semakin berhati-hati dan mendorong dolar kembali menguat terhadap mayoritas mata uang global.
