Fenomena luar angkasa selalu menarik perhatian, dan baru-baru ini sebuah video viral di platform X memperlihatkan kejadian langka di permukaan Matahari: hujan plasma. Alih-alih air seperti di Bumi, yang jatuh adalah gumpalan plasma berpijar yang meluncur kembali ke permukaan bintang raksasa tersebut. Fenomena yang disebut hujan korona ini sekilas menyerupai hujan di Bumi, namun dengan perbedaan yang signifikan. Plasma yang jatuh ditarik gravitasi, namun alirannya mengikuti lengkung garis medan magnet, membentuk busur bercahaya yang menakjubkan di langit Matahari.
Video berdurasi beberapa detik itu dibagikan oleh akun Fascinating (@fasc1nate) dan langsung menjadi perbincangan hangat. Ribuan pengguna, termasuk ilmuwan dan pengamat langit, dibuat terpukau oleh "hujan api" tersebut. Unggahan tersebut menjelaskan bahwa fenomena ini terjadi di korona, lapisan luar atmosfer Matahari. Gas superpanas yang tiba-tiba mendingin akan terkumpul di sepanjang garis medan magnet sebelum akhirnya jatuh kembali ke permukaan. Peristiwa ini umumnya terjadi setelah ledakan energi besar atau solar flare. Fenomena ini memunculkan pertanyaan baru tentang cuaca di luar angkasa dan dampaknya bagi kita di Bumi.
Hujan Plasma di Matahari: Penjelasan Ilmiah
Hujan korona adalah fenomena yang menakjubkan. Menurut laporan Space, plasma yang jatuh juga ditarik gravitasi, namun alirannya tidak lurus ke bawah, melainkan mengikuti lengkung garis medan magnet, membentuk busur bercahaya di langit Matahari. Plasma ini bisa meluncur dengan kecepatan mencapai 200.000 kilometer per jam. Berbeda dengan hujan air yang terbentuk dari penguapan, hujan korona muncul akibat pendinginan mendadak material panas dari solar flare.
Ahli fisika surya dari Trinity College Dublin, Eamon Scullion, menjelaskan bahwa kesamaan antara proses cuaca di Matahari dan Bumi sungguh menakjubkan. Penelitian dari Institute for Astronomy, Universitas Hawaii di Manoa, juga menemukan bahwa perubahan unsur seperti besi di korona dapat mempercepat terbentuknya hujan korona setelah semburan energi besar.
Proses Terjadinya Hujan Korona
Hujan korona terjadi ketika gas superpanas di korona Matahari mengalami pendinginan mendadak. Proses pendinginan ini menyebabkan gas tersebut mengembun dan membentuk gumpalan plasma. Gumpalan plasma ini kemudian tertarik oleh gravitasi Matahari dan meluncur kembali ke permukaan, mengikuti garis medan magnet. Fenomena ini seringkali terjadi setelah aktivitas Matahari yang intens, seperti solar flare atau lontaran massa korona (CME).
Proses pendinginan material panas dari solar flare inilah yang menjadi kunci utama terbentuknya hujan korona. Energi yang dilepaskan saat solar flare memanaskan plasma di korona hingga jutaan derajat Celsius. Ketika energi ini mereda, plasma mulai mendingin dan mengembun, menciptakan pemandangan hujan plasma yang spektakuler.
Dampak Hujan Korona pada Cuaca Antariksa
Penelitian tentang hujan korona membantu ilmuwan memahami lebih dalam mekanisme cuaca Matahari serta dampaknya terhadap cuaca antariksa. Cuaca antariksa sendiri berpotensi memengaruhi sistem komunikasi dan kehidupan di Bumi. Semburan energi dari Matahari dapat mengganggu satelit, jaringan listrik, dan bahkan sistem navigasi.
Memahami bagaimana hujan korona terbentuk dan apa dampaknya dapat membantu kita memprediksi dan mengurangi risiko yang terkait dengan cuaca antariksa. Dengan pemahaman yang lebih baik, kita dapat mengembangkan teknologi dan strategi mitigasi untuk melindungi infrastruktur penting kita dari dampak buruk aktivitas Matahari.
Fenomena Langit Lainnya di Tahun 2025
Selain fenomena hujan plasma di Matahari, ada beberapa peristiwa langit menarik lainnya yang akan terjadi di tahun 2025. Fenomena Purnama Perige atau supermoon pada 7 Oktober 2025 bukan sekadar tontonan memukau, namun juga dapat memicu perubahan perilaku berbagai spesies hewan. Langit Oktober juga akan dihiasi oleh dua komet terang dan puncak hujan meteor Orionid yang hadir hampir bersamaan.
Asteroid raksasa 2025 FA22 akan melintas dekat Bumi pada 18 September 2025, dan gerhana bulan total yang sering disebut sebagai Blood Moon akan kembali menghiasi langit pada malam tanggal 7 hingga 8 September 2025. Semua fenomena ini menjanjikan pertunjukan langit yang spektakuler dan layak untuk disaksikan.