Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setyo Budiyanto baru-baru ini menggunakan analogi menarik untuk menggambarkan sosok beneficial owner (BO) atau pemilik manfaat dari sebuah perusahaan. Ia mengibaratkan BO seperti genderuwo, sosok yang menakutkan namun tak terlihat. Analogi ini disampaikan dalam acara peluncuran aplikasi Beneficial Ownership (BO) Gateway yang digagas oleh Direktorat Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Aplikasi ini diharapkan dapat membantu mengungkap identitas para BO yang seringkali bersembunyi di balik perusahaan-perusahaan. Setyo menjelaskan bahwa BO bukanlah perusahaan, ras, atau badan hukum, melainkan individu yang memiliki kendali dan pengaruh signifikan terhadap perusahaan, namun keberadaannya seringkali disembunyikan. Pengalaman Setyo saat bertugas di Kementerian Pertanian (Kementan) turut mewarnai analogi ini, dimana ia sering mengingatkan pejabat Kementan tentang sosok BO yang menakutkan layaknya genderuwo. Meski demikian, KPK juga telah berhasil menyeret sejumlah BO ke pengadilan atas keterlibatan mereka dalam kasus korupsi.
Kasus Suap yang Menjerat Emirsyah Satar
Salah satu kasus besar yang melibatkan beneficial owner dan berhasil diungkap oleh KPK adalah kasus suap yang menjerat mantan Direktur Utama Garuda Indonesia, Emirsyah Satar. Pada tahun 2017, KPK menetapkan Emirsyah Satar dan pengusaha Soetikno Soedarjo sebagai tersangka. Soetikno Soedarjo disebut sebagai beneficial owner dari Connaught International Pte Ltd. KPK mengungkap bahwa Soetikno memberikan suap sebesar 1,2 juta euro dan USD 180 ribu kepada Emirsyah Satar terkait pengadaan mesin pesawat. Baik Emirsyah Satar maupun Soetikno Soedarjo telah divonis bersalah oleh pengadilan karena terbukti terlibat dalam suap terkait pengadaan pesawat dan mesin pesawat dari Airbus SAS dan Rolls-Royce PLC. Emirsyah Satar divonis 8 tahun penjara, sementara Soetikno Soedarjo divonis 6 tahun penjara. Kasus ini menjadi bukti nyata bagaimana beneficial owner dapat terlibat dalam praktik korupsi yang merugikan negara.
Korupsi Pengadaan Lahan Rumah DP Rp 0 di Jakarta
KPK juga pernah menjerat Rudy Hartono Iskandar sebagai tersangka dalam kasus korupsi pengadaan lahan rumah DP Rp 0 di Munjul, Cipayung, Jakarta Timur. Dalam persidangan, Rudy Hartono Iskandar disebut sebagai beneficial owner dari PT Adonara Propertindo. Rudy Hartono Iskandar telah divonis 7 tahun penjara dalam kasus tersebut. Tidak berhenti di situ, Rudy Hartono Iskandar kembali dijerat sebagai tersangka dalam kasus korupsi pengadaan lahan proyek rumah DP Rp 0 di Pulo Gebang, Jakarta Timur. Dalam kasus ini, Rudy Hartono Iskandar juga dijatuhi vonis 7 tahun penjara. Kasus ini menunjukkan bahwa praktik beneficial ownership yang tidak transparan dapat membuka celah terjadinya korupsi dalam proyek-proyek pembangunan pemerintah.
Suap yang Menimpa Eks Hakim Mahkamah Konstitusi
Pada tahun 2017, KPK menetapkan Basuki Hariman sebagai tersangka. Basuki Hariman disebut sebagai beneficial owner dari PT Impexindo Pratama, PT Cahaya Timur Utama, PT Cahaya Sakti Utama, dan CV Sumber Laut Perkara. Basuki Hariman dijerat sebagai tersangka kasus suap mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar. Basuki Hariman divonis 7 tahun penjara karena terbukti bersalah menyerahkan uang USD 50 ribu kepada Kamaludin, yang disebut sebagai orang dekat Patrialis Akbar, terkait judicial review (JR) UU No 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan di MK. Hakim menyimpulkan bahwa USD 10 ribu dari total USD 50 ribu yang diberikan kepada Kamaludin telah diserahkan kepada Patrialis Akbar. Kasus ini menggambarkan bagaimana beneficial owner dapat menggunakan pengaruhnya untuk melakukan suap demi kepentingan bisnisnya.
Korupsi yang Dilakukan Eks Direktur Utama ASDP
KPK juga menetapkan Adjie sebagai tersangka dalam kasus korupsi pembelian PT Jembatan Nusantara oleh PT ASDP. Dalam dakwaan, Adjie disebut sebagai beneficial owner PT Jembatan Nusantara. Jaksa penuntut umum menduga bahwa perkara ini telah memperkaya Adjie sebesar Rp 1,25 triliun. Saat ini, kasus ini masih dalam tahap persidangan. Kasus ini menyoroti potensi penyalahgunaan wewenang dan praktik korupsi yang melibatkan beneficial owner dalam perusahaan-perusahaan BUMN.