Koalisi masyarakat sipil baru-baru ini melayangkan kritik tajam terhadap pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Mereka berpendapat bahwa KUHAP yang baru disahkan ini memberikan diskresi yang terlalu luas kepada kepolisian, sebuah langkah yang dianggap kontraproduktif terhadap agenda reformasi Polri yang tengah diupayakan oleh Presiden. Pengesahan KUHAP ini memicu kekhawatiran mendalam mengenai potensi kemunduran dalam penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia.
UU KUHAP yang baru ini disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 18 November 2025. Kritikus berpendapat bahwa perluasan kewenangan kepolisian dalam KUHAP akan mengikis prinsip-prinsip dasar hukum acara pidana yang selama ini menjadi landasan sistem peradilan di Indonesia. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang arah reformasi kepolisian dan dampaknya terhadap supremasi hukum di masa depan.
Perluasan Diskresi Kepolisian dalam KUHAP 2025
Koalisi masyarakat sipil menyoroti beberapa pasal dalam KUHAP baru yang dianggap bermasalah. Pasal-pasal ini memberikan kewenangan yang lebih besar kepada polisi dalam melakukan penyidikan, penangkapan, dan penahanan. Kekhawatiran utama adalah bahwa kewenangan yang berlebihan ini dapat disalahgunakan oleh oknum kepolisian, yang berpotensi melanggar hak-hak warga negara dan mengurangi akuntabilitas lembaga kepolisian. Diskresi yang berlebihan dikhawatirkan membuka peluang terjadinya praktik-praktik koruptif dan penyalahgunaan wewenang.
Salah satu poin krusial adalah mengenai definisi tindak pidana yang diperluas dalam KUHAP. Definisi yang kabur dan terlalu luas dapat menyebabkan kriminalisasi terhadap tindakan-tindakan yang seharusnya tidak masuk dalam ranah pidana. Hal ini dapat mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat, serta membatasi ruang gerak masyarakat sipil dalam mengkritisi kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, koalisi masyarakat sipil mendesak agar pasal-pasal yang bermasalah ini segera direvisi untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan melindungi hak-hak konstitusional warga negara.
Hambatan Reformasi Polri Akibat KUHAP Baru
Pengesahan KUHAP baru ini dinilai sebagai kemunduran serius dalam upaya reformasi Polri yang tengah berjalan. Agenda reformasi Polri, yang digulirkan oleh Presiden, bertujuan untuk menciptakan lembaga kepolisian yang profesional, akuntabel, danHumanis. Namun, dengan diberikannya kewenangan yang lebih besar kepada polisi melalui KUHAP baru, upaya reformasi ini terancam sia-sia. Koalisi masyarakat sipil khawatir bahwa KUHAP baru akan memperkuat budaya impunitas di kalangan kepolisian dan menghambat upaya pemberantasan korupsi di tubuh Polri.
KUHAP yang baru ini juga berpotensi menghambat upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia di kepolisian. Dengan kewenangan yang besar, polisi mungkin merasa tidak perlu meningkatkan kompetensi dan profesionalisme mereka. Hal ini akan berdampak negatif terhadap kualitas pelayanan kepolisian kepada masyarakat dan mengurangi kepercayaan publik terhadap lembaga kepolisian. Oleh karena itu, perlu ada mekanisme pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan KUHAP baru untuk memastikan bahwa kewenangan yang diberikan kepada polisi tidak disalahgunakan.
Tuntutan Masyarakat Sipil terhadap KUHAP
Koalisi masyarakat sipil mendesak pemerintah dan DPR untuk segera melakukan revisi terhadap KUHAP baru. Mereka meminta agar pasal-pasal yang memberikan diskresi berlebihan kepada kepolisian dihapus atau direvisi agar sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum dan hak asasi manusia. Selain itu, mereka juga menuntut adanya mekanisme pengawasan yang independen dan transparan terhadap kinerja kepolisian untuk mencegah penyalahgunaan wewenang. Masyarakat sipil juga menyerukan agar pemerintah melibatkan partisipasi publik secara aktif dalam proses revisi KUHAP untuk memastikan bahwa KUHAP yang dihasilkan benar-benar mencerminkan aspirasi dan kepentingan masyarakat.
YLBHI dan organisasi masyarakat sipil lainnya menyerukan penundaan pemberlakuan KUHAP baru dan meminta pemerintah untuk membuka dialog yang konstruktif dengan semua pemangku kepentingan. Mereka juga mendesak Presiden untuk mengambil langkah-langkah konkret untuk memastikan bahwa agenda reformasi Polri tetap berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Upaya ini bertujuan untuk mewujudkan sistem peradilan pidana yang adil, transparan, dan akuntabel, serta melindungi hak-hak warga negara dari kesewenang-wenangan aparat penegak hukum.
