Kisah tragis terungkap dari seorang korban kecelakaan truk tambang di Rumpin, Bogor, yang menyoroti praktik gelap yang diduga dilakukan oleh para sopir. Devi, seorang penyintas kecelakaan, menceritakan bagaimana sopir truk tambang diduga sengaja memperparah kondisi korban kecelakaan hingga meninggal dunia. Tujuannya, menurut Devi, adalah untuk menekan biaya santunan dan ganti rugi yang harus dikeluarkan perusahaan tambang. Pengakuan Devi ini disampaikan langsung kepada Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, dan sontak membuat sang gubernur terkejut. Cerita ini mencuat di tengah persoalan antara warga dan aktivitas truk tambang yang kerap menimbulkan masalah di wilayah tersebut. Akibatnya, aktivitas pertambangan dihentikan sementara oleh pemerintah daerah.
Pengakuan Korban Truk Tambang: Dibablasin Supaya Meninggal
Devi, seorang korban kecelakaan truk tambang, menceritakan pengalamannya yang mengerikan. Kecelakaan yang dialaminya bersama seorang teman pada tahun 2020 lalu itu, menyisakan trauma mendalam. Di hadapan Gubernur Jawa Barat, Devi yang kini duduk di kursi roda, mengungkapkan bahwa dirinya ditabrak oleh truk tambang saat hendak berbelok ke SPBU setelah pulang sekolah. Devi menjelaskan awalnya hanya terserempet, namun benturan bemper truk langsung mengenai pinggangnya hingga terasa patah. Teman Devi yang mengemudikan sepeda motor sempat terkejut, namun kemudian refleks melompat untuk menyelamatkan diri. Motor yang ditinggalkan itu kemudian terjatuh, dan saat itulah, menurut Devi, sopir truk sengaja melindasnya. Alasan sopir melakukan itu, kata Devi, adalah karena biaya santunan untuk korban meninggal lebih kecil dibandingkan biaya pengobatan dan ganti rugi untuk korban yang selamat.
Alasan Sopir Melakukan Tindakan Keji
Pengakuan Devi soal praktik keji sopir truk tambang ini bukan tanpa alasan. Menurutnya, sudah menjadi semacam tradisi di kawasan pertambangan Rumpin, Bogor, bahwa jika sopir menabrak orang, lebih baik korban meninggal dunia. Hal ini dikarenakan biaya yang harus dikeluarkan perusahaan tambang jauh lebih sedikit. Jika korban selamat, perusahaan harus menanggung biaya pengobatan, ganti rugi, dan santunan berkepanjangan. Hal ini tentu menjadi beban bagi perusahaan. Oleh karena itu, sopir truk diduga sengaja melindas korban yang sudah terjatuh agar meninggal dunia di tempat. Praktik ini tentu sangat tidak manusiawi dan melanggar hukum. Dedi Mulyadi pun tampak terkejut mendengar pengakuan Devi ini, dan berjanji akan menindaklanjuti masalah ini.
Penghentian Sementara Aktivitas Pertambangan
Persoalan antara warga dan truk tambang memang sudah lama menjadi masalah di wilayah Parung Panjang, Rumpin, dan Cigudeg. Truk-truk tambang seringkali menyebabkan kemacetan, polusi, kerusakan jalan, dan kecelakaan. Bahkan, dalam kurun waktu 2019 hingga 2024, tercatat ada 195 orang meninggal dunia akibat kecelakaan yang melibatkan truk tambang. Oleh karena itu, Dedi Mulyadi memutuskan untuk menghentikan sementara aktivitas pertambangan di wilayah tersebut. Penghentian ini tertuang dalam surat bernomor 7920/ES.09/PEREK yang ditandatangani oleh Dedi. Dalam surat tersebut, disebutkan bahwa penghentian dilakukan karena masih terdapat masalah terkait aspek lingkungan dan keselamatan yang mengganggu ketertiban umum.
Alasan Penghentian dan Dampaknya
Penghentian aktivitas pertambangan ini bukan tanpa alasan. Selain masalah kecelakaan, aktivitas pertambangan juga dinilai belum sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Tata kelola kegiatan tambang, termasuk rantai pasok, masih bermasalah. Penghentian ini tentu menuai penolakan dari para penambang dan sopir truk. Namun, Dedi Mulyadi menegaskan bahwa kebijakan ini diambil demi keselamatan masyarakat. Ia mempertanyakan ke mana para penambang dan sopir truk selama ini ketika banyak anak-anak kehilangan orang tuanya akibat kecelakaan truk tambang. Dedi berharap, dengan penghentian sementara ini, semua pihak dapat duduk bersama untuk mencari solusi terbaik agar aktivitas pertambangan dapat berjalan dengan aman dan tidak merugikan masyarakat.