Setelah gencatan senjata, ribuan warga Gaza kembali ke lingkungan masing-masing, namun banyak yang mendapati rumah mereka hanya tersisa puing-puing. Membangun kembali Gaza bukan hanya soal membangun kembali rumah, tetapi juga bisnis dan infrastruktur penting. PBB memperkirakan kerusakan mencapai US$70 miliar. Kehancuran yang meluas menciptakan tantangan besar, lebih dari sekadar memulai dari nol karena pembangunan harus dimulai dari puing-puing. Tingkat kehancuran mencapai 84%, bahkan 92% di beberapa area seperti Kota Gaza. Proses rekonstruksi akan panjang dan kompleks, dimulai dengan pembersihan puing-puing, pemulihan layanan vital seperti air bersih dan sanitasi, serta pembangunan kembali rumah dan infrastruktur yang hancur. Pemulihan Gaza memerlukan upaya besar-besaran dan dukungan internasional.
Skala Kehancuran di Gaza: Lebih dari 60 Juta Ton Puing
Kehancuran di Gaza menghasilkan lebih dari 60 juta ton reruntuhan yang menunggu untuk dibersihkan. Jumlah puing yang sangat besar ini bukan hanya tumpukan beton yang hancur dan besi yang bengkok. Di antara reruntuhan tersebut, masih terdapat jenazah manusia dan bom yang belum meledak. Membersihkan area yang hancur adalah langkah pertama yang krusial. Prosesnya melibatkan pemilahan, pemisahan, dan penghancuran puing. Bahan seperti plastik dan baja akan diambil, sementara beton yang tersisa digiling untuk digunakan kembali. Proses ini akan menjadi fondasi bagi pembangunan baru, tetapi memerlukan impor besar-besaran bahan bangunan. Untuk menangani proyek sebesar ini, membangun pelabuhan laut dalam menjadi sangat penting agar ribuan kontainer material dapat masuk ke Gaza.
Krisis Air Bersih dan Sanitasi yang Memburuk
Air bersih menjadi kebutuhan mendesak bagi warga Gaza. Unicef memperkirakan setidaknya 70% dari 600 fasilitas air dan sanitasi di Gaza telah rusak atau hancur. Bahkan, tentara Israel sempat berpose di depan instalasi pengolahan limbah di Kota Gaza yang dibakar sebelum mereka mundur. Pengolahan limbah sangat penting untuk mencegah penumpukan kotoran dan penyebaran penyakit. Dokter melaporkan peningkatan penyakit diare yang mematikan bagi anak-anak, serta risiko kolera di beberapa wilayah. Kerusakan instalasi pengolahan air limbah diperparah oleh serangan udara dan artileri Israel, serta kekurangan peralatan. Bahkan, beberapa fasilitas kembali diserang setelah diperbaiki. Selain pengolahan limbah, fasilitas penyedia air bersih juga mengalami kerusakan berat, termasuk instalasi desalinasi air laut yang hancur.
Rumah dan Infrastruktur Hancur Rata dengan Tanah
Kawasan Sheikh Radwan di timur laut Kota Gaza hancur rata dengan tanah setelah dijadikan markas militer Pasukan Pertahanan Israel (IDF). Data Unosat menunjukkan 282.904 rumah dan apartemen di seluruh Gaza telah rusak atau hancur. Namun, angka ini belum mencerminkan kondisi sebenarnya karena belum mencantumkan dampak operasi militer terbaru di Kota Gaza. Pemerintah Kota Gaza yang dikelola Hamas menyebutkan 90% jalan di kota itu telah hancur dan rusak. Membangun kembali rumah-rumah di Gaza bisa memakan waktu puluhan tahun, terutama jika Israel terus membatasi masuknya bahan bangunan. Jika ada perencanaan yang matang, prosesnya bisa dipercepat, misalnya dengan merancang kamp pengungsian yang bisa berkembang menjadi permukiman permanen.
Krisis Listrik yang Melumpuhkan Gaza
Sebelum perang, sistem listrik Gaza sudah rapuh. Pemadaman bergilir adalah hal biasa, dan warga hanya menikmati listrik beberapa jam per hari. Sejak Israel memutus pasokan listrik ke Gaza, pemadaman listrik total terjadi. Pembangkit listrik utama tidak beroperasi karena kekurangan bahan bakar, dan banyak panel surya ikut rusak. Lebih dari 80% aset pembangkit dan distribusi listrik hancur atau tidak berfungsi, dengan kerugian lebih dari US$494 juta. Perusahaan distribusi listrik Gedco menyebut 70% gedung dan fasilitasnya hancur. Serangan terhadap kantor pusat Gedco mengganggu kemampuan perusahaan dalam menjalankan operasional teknis dan administratif.
Lahan Pertanian Musnah, Krisis Pangan Mengancam
Citra satelit menunjukkan sekitar 4 km persegi lahan pertanian yang diduga kebun zaitun dan jeruk musnah selama perang. Sebanyak 82,4% tanaman tahunan dan lebih dari 97% tanaman pohon di Gaza telah rusak akibat perang. Kemerosotan pertanian, ditambah pembatasan bantuan, menyebabkan krisis pangan parah yang berpuncak pada deklarasi bencana kelaparan di Kota Gaza. Penurunan ini disebabkan aktivitas seperti perataan lahan, penggunaan kendaraan berat, pengeboman, dan dinamika perang lainnya. Untuk memulihkan pertanian, lahan harus segera dibersihkan dari bom, peluru, dan ranjau yang belum meledak.
Pembangunan Kembali Sekolah dan Universitas
Sebelum perang, sekitar setengah populasi Gaza berusia di bawah 18 tahun. Pembangunan kembali sekolah menjadi kunci agar kehidupan normal dapat pulih. Selama perang, bangunan sekolah menjadi tempat berlindung bagi warga yang mengungsi, tetapi juga kerap menjadi sasaran IDF. UNRWA melaporkan bahwa 91,8% bangunan sekolah memerlukan rekonstruksi total atau perbaikan besar agar dapat kembali berfungsi. Perguruan tinggi juga tak luput dari kehancuran, termasuk Universitas al-Azhar dan Universitas Israa yang dihancurkan pasukan Israel.