Pemerintah Kota Yogyakarta memiliki target ambisius untuk mengakhiri epidemi HIV/AIDS pada tahun 2030. Langkah ini diwujudkan dengan menjalankan strategi Three Zero, yakni tidak ada kasus baru HIV/AIDS, tidak ada kematian akibat HIV/AIDS, serta tidak ada stigma dan diskriminasi terhadap Orang dengan HIV/AIDS (ODHIV). Komitmen ini bukan hanya sekadar harapan, melainkan sebuah rencana aksi yang terstruktur dan melibatkan berbagai pihak. Wali Kota Yogyakarta, Hasto Wardoyo, menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah dan komunitas dalam mencapai tujuan ini, terutama dalam memberikan layanan kesehatan inklusif dan bebas stigma bagi populasi kunci. Upaya ini juga selaras dengan target global dan nasional dalam penanggulangan HIV/AIDS.
Untuk mewujudkan target tersebut, Pemkot Yogyakarta telah menyiapkan Rencana Aksi Daerah (RAD) Pencegahan dan Pengendalian HIV/AIDS dan IMS Tahun 2023–2027. RAD ini menjadi panduan bagi semua pihak terkait dalam mempercepat penanggulangan HIV/AIDS di wilayah Kota Yogyakarta. Selain itu, Pemkot Yogyakarta juga mengadopsi strategi percepatan 95-95-95, yang bertujuan untuk memastikan bahwa 95% ODHIV mengetahui statusnya, 95% ODHIV menjalani pengobatan ARV (Anti Retroviral), dan 95% ODHIV yang menjalani pengobatan memiliki viral load yang tersupresi atau terkendali.
Strategi Three Zero untuk Akhiri Epidemi HIV/AIDS di Yogyakarta
Strategi Three Zero menjadi landasan utama Pemkot Yogyakarta dalam upaya mengakhiri epidemi HIV/AIDS. Implementasi strategi ini memerlukan kolaborasi yang kuat antara pemerintah, komunitas, dan masyarakat luas. Tiga pilar utama dalam strategi ini adalah:
- Tidak Ada Kasus Baru HIV/AIDS: Upaya pencegahan difokuskan pada edukasi, promosi perilaku hidup sehat, dan penyediaan akses layanan kesehatan yang mudah dijangkau. Program-program pencegahan menyasar berbagai kelompok masyarakat, termasuk populasi kunci dan remaja.
- Tidak Ada Kematian Akibat HIV/AIDS: Akses terhadap pengobatan ARV menjadi kunci utama dalam mencegah kematian akibat HIV/AIDS. Pemkot Yogyakarta memastikan ketersediaan ARV yang memadai dan layanan pendukung yang komprehensif. Pendampingan dan dukungan psikologis juga diberikan kepada ODHIV untuk meningkatkan kualitas hidup mereka.
- Tidak Ada Stigma dan Diskriminasi terhadap ODHIV: Stigma dan diskriminasi merupakan hambatan besar dalam penanggulangan HIV/AIDS. Pemkot Yogyakarta berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat tentang HIV/AIDS dan menghilangkan stigma melalui kampanye edukasi dan advokasi.
Penerapan Strategi 95-95-95 dalam Penanggulangan HIV
Strategi 95-95-95 merupakan pendekatan inovatif yang bertujuan untuk mempercepat penanggulangan HIV/AIDS. Strategi ini menekankan pada tiga target utama:
- 95% ODHIV Mengetahui Statusnya: Meningkatkan cakupan testing HIV menjadi prioritas utama. Pemkot Yogyakarta menyediakan layanan testing HIV yang mudah diakses dan terjangkau, serta melakukan outreach ke komunitas-komunitas rentan.
- 95% ODHIV Menjalani Pengobatan ARV: Memastikan ODHIV mendapatkan akses pengobatan ARV yang berkualitas. Pemkot Yogyakarta bekerja sama dengan fasilitas kesehatan untuk menyediakan layanan pengobatan ARV yang komprehensif dan berkelanjutan.
- 95% ODHIV yang Menjalani Pengobatan Memiliki Viral Load Tersupresi: Memantau efektivitas pengobatan ARV melalui pemeriksaan viral load. Pemkot Yogyakarta memastikan ODHIV yang menjalani pengobatan ARV secara rutin melakukan pemeriksaan viral load untuk memantau perkembangan kesehatan mereka.
Tantangan dan Upaya dalam Mencapai Target Three Zero
Wali Kota Yogyakarta mengakui bahwa mencapai target Three Zero bukanlah perkara mudah. Beberapa tantangan utama yang dihadapi antara lain:
- Mobilitas Penduduk yang Tinggi: Kota Yogyakarta memiliki tingkat mobilitas penduduk yang tinggi, sehingga sulit untuk mendeteksi kasus HIV pada pendatang baru.
- Putus Asa dalam Pengobatan: Banyak ODHIV yang kehilangan semangat untuk menjalani pengobatan karena berbagai faktor, seperti stigma sosial dan efek samping obat.
- Stigma Sosial: Stigma sosial masih menjadi persoalan besar yang menghambat upaya penanggulangan HIV/AIDS. Kurangnya pemahaman masyarakat tentang cara penularan HIV menyebabkan diskriminasi terhadap ODHIV.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, Pemkot Yogyakarta melakukan berbagai upaya, antara lain:
- Memperkuat layanan kesehatan: Meningkatkan kapasitas fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan dalam memberikan layanan HIV/AIDS yang berkualitas.
- Mengintensifkan edukasi: Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang HIV/AIDS melalui kampanye edukasi yang berkelanjutan.
- Melibatkan komunitas: Memberdayakan komunitas dan kelompok sebaya untuk memberikan dukungan dan pendampingan kepada ODHIV.
Peran Komunitas dan Yayasan dalam Pendampingan ODHIV
Komunitas dan kelompok sebaya memainkan peran penting dalam pendampingan ODHIV. Mereka dapat memberikan dukungan emosional, informasi, dan advokasi yang dibutuhkan oleh ODHIV. Yayasan Vesta Indonesia menjadi salah satu contoh organisasi yang aktif dalam pendampingan ODHIV di Kota Yogyakarta. Anggota yayasan ini sebagian besar merupakan penyintas HIV, sehingga mereka memiliki pemahaman yang mendalam tentang tantangan yang dihadapi oleh ODHIV. Pendampingan oleh teman senasib terbukti lebih efektif karena ODHIV merasa lebih nyaman dan percaya untuk berbagi pengalaman dan masalah mereka.
Akses Layanan Kesehatan Gratis untuk Pemeriksaan dan Pengobatan HIV/AIDS
Pemerintah Kota Yogyakarta berkomitmen untuk menyediakan akses layanan kesehatan yang mudah dan terjangkau bagi masyarakat, termasuk layanan pemeriksaan dan pengobatan HIV/AIDS. Semua layanan pemeriksaan untuk melihat kondisi kekebalan tubuh pasien dapat diakses secara gratis. Langkah ini bertujuan untuk menghilangkan hambatan finansial bagi masyarakat yang ingin mengetahui status HIV mereka. Dengan mengetahui status HIV lebih awal, individu dapat segera mendapatkan pengobatan yang tepat dan mencegah penularan lebih lanjut.
Hambatan Retribusi Layanan Kesehatan bagi Populasi Kunci
Ketua Yayasan Vesta Indonesia, Joko Hadi Purnomo, mengungkapkan bahwa salah satu kendala utama dalam penanganan HIV/AIDS di Kota Yogyakarta adalah masih adanya hambatan terkait pembayaran retribusi layanan kesehatan bagi populasi kunci atau kelompok rentan. Meskipun pemerintah telah mulai memberikan bantuan terhadap biaya retribusi layanan kesehatan sejak tahun ini, Joko berharap agar dukungan tersebut dapat diperkuat melalui sinergi dengan Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, khususnya dalam hal edukasi dan pembebasan retribusi bagi kelompok rentan. Hal ini menjadi perhatian penting karena banyak masyarakat yang enggan melakukan tes HIV karena merasa takut dan terbebani biaya.