Yogyakarta berkomitmen untuk mengakhiri epidemi HIV/AIDS pada tahun 2030. Pemerintah Kota Yogyakarta menerapkan strategi Three Zero sebagai langkah nyata, yaitu tidak ada kasus baru HIV/AIDS, tidak ada kematian akibat HIV/AIDS, serta tidak ada stigma dan diskriminasi terhadap Orang dengan HIV/AIDS (ODHIV). Komitmen ini selaras dengan tujuan global dan nasional untuk menanggulangi masalah kesehatan masyarakat yang serius ini. Berbagai upaya terus dilakukan, termasuk penerbitan Rencana Aksi Daerah (RAD) Pencegahan dan Pengendalian HIV/AIDS dan IMS sebagai panduan bagi semua pihak terkait. Pemerintah kota juga mengadopsi strategi 95-95-95, yang bertujuan untuk memastikan bahwa 95% ODHIV mengetahui status mereka, 95% ODHIV menerima pengobatan ARV, dan 95% ODHIV yang diobati mencapai penekanan viral load.
Strategi ini menekankan pentingnya deteksi dini, akses ke pengobatan, dan kepatuhan terhadap terapi. Melalui upaya kolektif dan pendekatan yang berpusat pada manusia, Kota Yogyakarta berupaya menciptakan masyarakat yang lebih sehat dan inklusif bagi semua.
Target Eliminasi HIV/AIDS di Yogyakarta pada Tahun 2030
Pemerintah Kota Yogyakarta sangat serius dalam menanggulangi penyebaran HIV/AIDS. Target ambisius untuk mengakhiri epidemi pada tahun 2030 menunjukkan komitmen yang kuat. Strategi Three Zero menjadi fokus utama, dengan tujuan untuk menekan angka kasus baru, mencegah kematian akibat AIDS, dan menghapuskan stigma terhadap ODHIV. Wali Kota Yogyakarta, Hasto Wardoyo, menekankan bahwa target ini sejalan dengan komitmen global dan nasional. Untuk mencapai target ini, Pemkot Yogyakarta telah menyusun Rencana Aksi Daerah (RAD) Pencegahan dan Pengendalian HIV/AIDS dan IMS Tahun 2023–2027, yang menjadi acuan bagi semua pihak terkait dalam upaya percepatan penanggulangan HIV/AIDS di wilayahnya. RAD ini mencakup berbagai program dan kegiatan yang terintegrasi, mulai dari peningkatan kesadaran masyarakat hingga penyediaan layanan kesehatan yang komprehensif. Strategi Three Zero diharapkan dapat terwujud melalui kerjasama yang erat antara pemerintah, komunitas, dan masyarakat luas.
Penerapan Strategi 95-95-95 untuk Penanggulangan HIV
Selain strategi Three Zero, Kota Yogyakarta juga mengadopsi strategi percepatan 95-95-95. Strategi ini memiliki target yang terukur, yaitu 95% ODHIV mengetahui statusnya, 95% ODHIV menjalani pengobatan ARV (Anti Retroviral), dan 95% ODHIV yang menjalani pengobatan memiliki viral load tersupresi atau terkendali. Langkah pertama adalah memastikan bahwa sebanyak mungkin orang mengetahui status HIV mereka melalui tes yang mudah diakses dan terjangkau. Setelah terdiagnosis, ODHIV harus segera mendapatkan pengobatan ARV untuk menekan perkembangan virus dan mencegah penularan lebih lanjut. Pengobatan ARV yang efektif akan menekan viral load, sehingga ODHIV dapat hidup sehat dan produktif. Keberhasilan strategi ini sangat bergantung pada ketersediaan layanan tes dan pengobatan yang berkualitas, serta dukungan yang berkelanjutan bagi ODHIV untuk menjalani pengobatan secara teratur.
Tantangan dalam Mencapai Target Bebas HIV
Wali Kota Hasto Wardoyo mengakui bahwa mencapai target Three Zero bukanlah hal yang mudah. Salah satu tantangan utama adalah tingginya mobilitas penduduk di Kota Yogyakarta. Arus keluar masuk penduduk yang dinamis dapat menyulitkan deteksi kasus baru HIV, terutama pada pendatang yang belum terdeteksi statusnya. Selain itu, stigma sosial juga masih menjadi persoalan besar. Banyak ODHIV yang merasa malu atau takut untuk mengakses layanan kesehatan karena diskriminasi dari masyarakat. Rasa putus asa juga menjadi faktor penghambat, yang menyebabkan ODHIV enggan menjalani pengobatan secara teratur. Tantangan-tantangan ini memerlukan solusi yang komprehensif, termasuk peningkatan kesadaran masyarakat, penghapusan stigma, dan penyediaan dukungan psikososial bagi ODHIV.
Peran Komunitas dalam Mendukung ODHIV
Dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS, peran komunitas dan kelompok sebaya sangat penting. Mereka dapat memberikan dukungan emosional, informasi yang akurat, dan pendampingan bagi ODHIV. Yayasan Vesta Indonesia adalah salah satu contoh organisasi komunitas yang aktif dalam memberikan dukungan kepada ODHIV. Anggota yayasan ini sebagian besar merupakan penyintas HIV, sehingga mereka memiliki pengalaman dan pemahaman yang mendalam tentang tantangan yang dihadapi oleh ODHIV. Penyuluhan yang dilakukan oleh teman senasib dinilai lebih efektif karena mereka lebih dipercaya dan didengarkan dibandingkan dengan pejabat atau tenaga kesehatan. Dukungan dari komunitas dapat membantu ODHIV untuk merasa diterima, tidak sendirian, dan termotivasi untuk menjalani pengobatan secara teratur.
Layanan Kesehatan Gratis untuk Pemeriksaan dan Pengobatan HIV
Pemerintah Kota Yogyakarta menyediakan layanan pemeriksaan dan pengobatan HIV/AIDS secara gratis. Kepala Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, Emma Rahmi Aryani, menegaskan bahwa semua layanan pemeriksaan untuk melihat kondisi kekebalan tubuh pasien dapat diakses secara gratis. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa tidak ada hambatan finansial bagi masyarakat untuk mendapatkan layanan kesehatan yang dibutuhkan. Dengan adanya layanan gratis, diharapkan semakin banyak orang yang berani melakukan tes HIV dan mendapatkan pengobatan jika terdiagnosis positif. Layanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau merupakan kunci untuk menekan penyebaran HIV/AIDS dan meningkatkan kualitas hidup ODHIV.
Hambatan Retribusi Layanan Kesehatan bagi Kelompok Rentan
Ketua Yayasan Vesta Indonesia, Joko Hadi Purnomo, mengungkapkan bahwa salah satu kendala utama dalam penanganan HIV/AIDS di Kota Yogyakarta adalah masih adanya hambatan terkait pembayaran retribusi layanan kesehatan bagi populasi kunci atau kelompok rentan. Meskipun pemerintah telah mulai memberikan bantuan terhadap biaya retribusi layanan kesehatan sejak tahun ini, Joko berharap agar dukungan tersebut dapat diperkuat melalui sinergi dengan Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, khususnya dalam hal edukasi dan pembebasan retribusi bagi kelompok rentan. Banyak masyarakat yang enggan melakukan tes HIV karena merasa takut dan terbebani biaya. Hal ini menjadi tantangan besar bagi para pendamping dan relawan di lapangan.