Gerhana bulan kembali memukau Indonesia pada September lalu, menghadirkan fenomena langit yang berlangsung selama 1 jam 22 menit 6 detik, menjadikannya gerhana terlama dalam satu dekade terakhir. Lebih dari sekadar tontonan astronomi yang menarik, gerhana bulan juga membawa dampak positif bagi lingkungan pesisir. Peristiwa ini memicu rasa ingin tahu dan antusiasme di kalangan masyarakat, mulai dari ilmuwan hingga penggemar astronomi amatir. Momen ini dimanfaatkan untuk mengamati dan mengabadikan keindahan alam semesta dengan berbagai peralatan, dari teleskop canggih hingga kamera ponsel sederhana. Gerhana bulan bukan hanya fenomena visual yang memukau, tetapi juga sebuah peristiwa alam yang memengaruhi lingkungan sekitar kita.
Dampak Gerhana Bulan Terhadap Pasang Air Laut
Yudhiakto Pramudya, seorang ahli astronomi dari Universitas Ahmad Dahlan (UAD), menjelaskan bahwa pasang air laut sangat dipengaruhi oleh gravitasi matahari, bulan, dan bumi. Pada saat bulan purnama dan bulan baru, air laut mencapai titik tertinggi dan terendahnya. Gerhana bulan yang terjadi saat fase purnama, dengan posisi bumi, bulan, dan matahari yang sejajar sempurna, memperkuat efek gravitasi ini, menghasilkan pasang air laut yang lebih signifikan.
Manfaatnya bagi lingkungan pesisir adalah saat pasang maksimum yang dipicu oleh gerhana, air laut dapat mencapai area yang lebih luas, membawa nutrisi penting yang menyuburkan ekosistem pesisir dan memperkuat rantai makanan laut. Selain itu, pasang maksimum juga membantu menyebarkan benih tumbuhan laut dan organisme pesisir ke wilayah baru, berkontribusi pada regenerasi dan keanekaragaman hayati.
Namun, fenomena ini juga membawa risiko banjir rob bagi masyarakat pesisir. Kenaikan pasang air laut saat gerhana dapat mengganggu aktivitas di wilayah pesisir, sehingga kewaspadaan menjadi kunci.
Pengalaman Nelayan Saat Gerhana Bulan
Hamdani, seorang tokoh dari Ikatan Nelayan Sajiaan, mencatat bahwa permukaan air laut di Desa Rampa, Kalimantan Selatan, mulai naik dan mencapai puncaknya saat gerhana bulan terjadi pada 7-8 September. Meskipun demikian, para nelayan tetap melaut seperti biasa. Bagi mereka, pasang surut adalah bagian dari kehidupan sehari-hari, dan kebutuhan ekonomi memaksa mereka untuk terus bekerja.
Mitos dan Fakta Seputar Gerhana Bulan Merah
Gerhana bulan merah darah (blood moon) terjadi ketika bumi berada di antara matahari dan bulan, menyebabkan bulan masuk ke umbra bumi dan tampak berwarna merah. Yudhiakto menjelaskan bahwa istilah "bulan merah darah" bukanlah istilah ilmiah. Warna merah pada bulan saat gerhana total dipengaruhi oleh kualitas udara di atmosfer bumi. Cahaya matahari berinteraksi dengan atmosfer sebelum mencapai permukaan bulan, sehingga menghasilkan warna yang bervariasi.
Setiap gerhana bulan total berbeda dari sebelumnya, baik dari segi durasi, waktu, ukuran bulan, maupun warna merahnya. Gerhana bulan sebenarnya terjadi beberapa kali dalam setahun, tetapi tidak selalu dapat diamati di semua tempat karena posisi bulan yang mungkin belum terbit atau sudah terbenam.
Prediksi menunjukkan bahwa gerhana bulan berikutnya akan terjadi pada 3 Maret 2026, bertepatan dengan bulan Ramadhan, sehingga umat Islam dapat melaksanakan shalat gerhana bulan.
Pengamatan dan Dokumentasi Gerhana Bulan
Gerhana bulan menarik minat banyak orang untuk mengamati dan mendokumentasikan fenomena ini. Peralatan yang digunakan pun beragam, mulai dari teleskop dan kamera profesional hingga telepon genggam. BMKG bahkan menggunakan teleskop khusus Vixen ED80sf untuk mengamati fase gerhana bulan secara akurat. Mereka mencatat setiap fase gerhana, mulai dari gerhana penumbra hingga gerhana total, dengan cermat.
Di sisi lain, banyak warga yang menggunakan mata telanjang dan telepon genggam untuk mengamati gerhana bulan. Amirul Isnaeni, seorang warga Banjarbaru, merekam gerhana bulan dengan smartphone-nya sebagai kenang-kenangan pribadi. Meskipun tidak memiliki latar belakang astronomi, ia tetap rela begadang untuk mengabadikan momen langka ini.
Tips Astrofotografi untuk Pemula
Bagi para penggemar astrofotografi, Fattah Firdaus, seorang astrofotografer dari Bekasi, berbagi tips penting. Ia menggunakan teleskop SVBony 48P 90 mm dengan mounting equatorial untuk memotret gerhana bulan. Sutan, sapaan akrabnya, menjelaskan bahwa setiap segmen foto gerhana membutuhkan pengaturan kamera yang berbeda. Ia merekomendasikan penggunaan ISO di kisaran 500 dengan kecepatan sekitar satu detik.
Sutan menekankan pentingnya mencari lokasi dengan tingkat kecerahan langit yang rendah. Tingkat kecerahan atau skala Bortle berkisar dari angka 1-9, dengan angka 1 menunjukkan langit yang sangat gelap dan cocok untuk berburu bintang. Selain itu, mounting yang stabil juga sangat penting untuk mengikuti gerakan bulan di langit. Kamera apa saja bisa digunakan, asalkan mendukung pengaturan shutter lambat atau long exposure.
Teleskop berbahan kaca lebih disarankan daripada plastik. Lensa achromatic, apochromatic, dan ED (extra-low dispersion) juga bisa menjadi pilihan untuk hasil yang lebih jernih. Dengan peralatan yang tepat, lokasi yang mendukung, dan pengolahan yang baik, siapa pun bisa menghasilkan foto langit malam yang menakjubkan. Astrofotografi dapat dipelajari oleh siapa saja yang sabar dan mau mencoba.