Tragedi runtuhnya Pondok Pesantren Al Khoziny di Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur menyisakan duka mendalam. Namun, di balik reruntuhan, tersimpan kisah-kisah pilu sekaligus mengharukan dari para korban selamat. Tim SAR hingga Kamis malam sudah tidak menemukan tanda kehidupan lagi di lokasi kejadian. Syaiful Rosi Abdillah menjadi korban terakhir yang berhasil diselamatkan dalam keadaan hidup. Kisah-kisah mereka yang berhasil bertahan hidup menjadi bukti ketegaran dan keajaiban di tengah musibah. Ada yang bertahan hidup selama berhari-hari di sebelah jenazah temannya, ada yang harus kehilangan anggota tubuh demi menyelamatkan nyawa, hingga santri yang tak menyadari bahwa pondoknya telah ambruk.
Kisah Haikal: Salat di Tengah Reruntuhan
Syahlendra Haikal, seorang santri berusia 13 tahun, mengalami pengalaman pahit terjebak di reruntuhan pondok pesantren selama dua hari. Ia masih ingat momen terakhir sebelum kejadian, yaitu mengajak temannya untuk salat bersama. Namun takdir berkata lain, temannya itu kemudian meninggal dunia di sampingnya. Suara Haikal sempat terdengar oleh petugas penyelamat dalam sebuah video yang viral di dunia maya. Saat itu, petugas sedang mencari dua santri, Haikal dan Yusuf. Haikal terdengar mengatakan bahwa semua tubuhnya terasa sakit karena tertimpa reruntuhan.
Tim penyelamat mengalami kesulitan saat berusaha menarik Haikal karena pinggangnya terimpit beton. Setelah perjuangan yang panjang, Haikal akhirnya berhasil dievakuasi dan segera dilarikan ke rumah sakit. Di rumah sakit, Haikal menceritakan bagaimana ia tetap berusaha menunaikan salat meski dalam kondisi terbaring. Ia bahkan sempat mengajak temannya yang berada di dekatnya untuk salat bersama. Temannya sempat menjawab saat salat Isya, namun saat salat Subuh, temannya sudah tidak bersuara lagi. Haikal menyadari bahwa temannya telah meninggal dunia dalam posisi sujud. Kisah Haikal ini juga sampai ke telinga Senator DPD RI Lia Istifhama yang menjenguknya di rumah sakit. Lia mengungkapkan kekagumannya terhadap Haikal yang tetap ingat salat bahkan dalam kondisi yang paling mencekam.
Al Fatih: Mengira Sedang Bermimpi
Al Fatih Cakra Buana, seorang santri berusia 14 tahun, awalnya tidak menyadari bahwa pondok pesantren tempatnya belajar telah ambruk. Ia mengira bahwa dirinya sedang tertidur selama tiga hari dan semua yang terjadi di sekitarnya hanyalah mimpi. Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, menceritakan bahwa Al Fatih baru sadar gedung pondok telah ambruk setelah dievakuasi.
Setelah diselamatkan, Al Fatih langsung dilarikan ke rumah sakit. Ia kemudian menceritakan pengalamannya kepada awak media. Al Fatih mengaku sempat berlari saat kejadian, namun tetap terkena reruntuhan. Anehnya, ia tidak merasa sakit sama sekali. Selama terjebak di reruntuhan, Al Fatih merasa seperti sedang tidur lama dan bermimpi melakukan berbagai hal, seperti minum menggunakan selang dan berjalan-jalan di tempat gelap. Al Fatih selamat karena tubuhnya tertutup tumpukan pasir dan kepalanya terlindung lembaran seng. Ia mengatakan bahwa ada lima orang di sekitarnya sebelum bangunan roboh.
Nur Ahmad: Rela Kehilangan Tangan
Kisah pilu juga dialami oleh Nur Ahmad, yang harus merelakan tangannya diamputasi agar bisa selamat dari reruntuhan. Lengan Ahmad tertimbun bahan bangunan dan mulai mengalami pembusukan. Tim medis terpaksa melakukan amputasi di ruang sempit yang penuh risiko.
Dokter Aaron Franklyn Suaduon Simatupang, salah satu tenaga kesehatan yang terlibat langsung dalam proses evakuasi, mengatakan bahwa keselamatan Ahmad adalah prioritas utama. Ia bahkan siap mempertaruhkan nyawanya jika bangunan tersebut runtuh lagi. Proses amputasi berjalan dengan lancar dan Ahmad berhasil dikeluarkan dari reruntuhan dan dibawa ke ICU.
Syaiful Rosi: Bertahan dengan Selawat
Syaiful Rosi Abdillah, korban terakhir yang dievakuasi dalam keadaan hidup, mengalami luka parah pada kakinya karena tertimpa reruntuhan selama tiga hari. Telapak kaki kanannya remuk dan harus diamputasi. Rosi sempat bertanya-tanya apakah dia akan memiliki kaki baru. Saat kejadian, Rosi sedang bersama enam orang temannya. Reruntuhan menimpa mereka beberapa kali.
Rosi dan teman-temannya sempat berusaha mendorong beton yang menimpa mereka, namun terlalu berat. Mereka berteriak meminta tolong, namun tidak ada yang mendengar. Setelah tiga hari terjebak, akhirnya ada warga kampung yang datang membantu. Selama tiga hari itu, Rosi terus membaca selawat dan istighfar untuk bertahan hidup. Ia tidak mendapatkan makanan dan minuman sama sekali. Rosi akhirnya berhasil dievakuasi dan dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan intensif.