Aktivis dari Global Sumud Flotilla yang baru-baru ini dideportasi dari Israel telah tiba di Istanbul, Turki, dan melaporkan pengalaman mengerikan yang mereka alami. Kelompok yang terdiri dari 137 aktivis dari berbagai negara, termasuk Greta Thunberg, berangkat dengan armada kapal untuk membawa bantuan kemanusiaan ke Gaza yang dilanda konflik. Namun, upaya mereka dihalangi oleh blokade Israel, yang menyebabkan penahanan dan deportasi mereka. Para aktivis kini menceritakan kisah-kisah tentang kekerasan, perlakuan tidak manusiawi, dan pelanggaran hak asasi manusia yang mereka alami di tangan pasukan Israel. Insiden ini telah memicu kecaman internasional dan meningkatkan seruan untuk diakhirinya blokade Gaza. Kisah-kisah para aktivis ini memberikan gambaran yang mengerikan tentang realitas di lapangan dan menyoroti perlunya tindakan segera untuk meringankan penderitaan rakyat Palestina di Gaza.
Perlakuan Buruk Aktivis Flotilla oleh Tentara Israel
Para aktivis yang dideportasi menggambarkan pengalaman mengerikan selama penahanan mereka oleh pasukan Israel. Menurut laporan, mereka menjadi sasaran kekerasan fisik dan psikologis, serta perlakuan yang merendahkan dan tidak manusiawi. Seorang politisi Italia, Paolo Romano, mengatakan bahwa kapal-kapal mereka dicegat oleh sejumlah besar kapal militer Israel dan terkena meriam air. Para penumpang kemudian dipaksa turun dari kapal dengan todongan senjata dan diperintahkan untuk berlutut di tanah. Romano mengklaim bahwa mereka yang bergerak dipukuli dan diejek oleh tentara Israel. Aktivis lain menceritakan bahwa mereka ditahan di penjara tanpa air minum dan diintimidasi di malam hari oleh penjaga bersenjata.
- Dicegat oleh kapal militer Israel.
- Diserang dengan meriam air.
- Dipaksa berlutut dengan todongan senjata.
- Dipukuli dan diejek oleh tentara.
Kesaksian Aktivis tentang Kekerasan Fisik dan Psikologis
Kisah-kisah kekerasan fisik dan psikologis yang dialami oleh para aktivis sangat mengerikan. Iylia Balqis, seorang aktivis Malaysia, menggambarkan bagaimana dia dan rekan-rekannya diborgol dengan tangan di belakang punggung, dipaksa berbaring tengkurap di tanah, dan ditolak akses ke air dan obat-obatan. Paolo Romano menambahkan bahwa para tentara Israel mencoba memaksa para aktivis untuk mengaku memasuki Israel secara ilegal, meskipun mereka berada di perairan internasional. Lorenzo D'Agostino, seorang jurnalis Italia yang meliput misi tersebut, mengatakan bahwa para aktivis "diculik" di perairan internasional dan menghabiskan "dua hari yang mengerikan" di penjara. Kesaksian-kesaksian ini memberikan bukti kuat tentang pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pasukan Israel terhadap para aktivis Global Sumud Flotilla.
Israel Menerapkan Kekerasan Psikologis dan Fisik
Perlakuan yang dialami para aktivis, menurut kesaksian mereka, jelas menunjukkan penggunaan kekerasan psikologis dan fisik oleh pasukan Israel. Memaksa para tahanan untuk berlutut, menolak mereka akses ke kebutuhan dasar seperti air dan obat-obatan, dan mengintimidasi mereka di malam hari adalah taktik yang dirancang untuk merusak semangat dan memaksa mereka untuk tunduk. Upaya untuk memaksa para aktivis untuk mengaku memasuki Israel secara ilegal juga merupakan bentuk kekerasan psikologis, karena hal itu bertujuan untuk mengkriminalisasi tindakan mereka dan membenarkan penahanan mereka. Kekerasan fisik, seperti pemukulan dan penyerangan dengan meriam air, semakin memperburuk pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pasukan Israel.
Reaksi dan Kecaman Internasional
Insiden penahanan dan deportasi para aktivis Global Sumud Flotilla telah memicu kecaman internasional yang meluas. Banyak pemerintah, organisasi hak asasi manusia, dan individu telah mengecam tindakan Israel dan menyerukan penyelidikan atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia. Para kritikus berpendapat bahwa blokade Israel terhadap Gaza adalah hukuman kolektif terhadap penduduk sipil dan melanggar hukum internasional. Mereka juga menyoroti bahwa para aktivis yang mencoba mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Gaza memiliki hak untuk melakukannya dan seharusnya tidak menjadi sasaran kekerasan dan penahanan. Kementerian Luar Negeri Israel membela tindakan mereka dengan menyebut para aktivis sebagai "provokator armada Hamas-Sumud" dan menyatakan bahwa Israel berusaha untuk mempercepat deportasi semua "provokator".
Deportasi Aktivis dan Tuduhan Israel
Israel mendeportasi 137 aktivis ke Turki dan mengklaim bahwa mereka adalah "provokator" yang terkait dengan Hamas. Tindakan ini telah dikritik oleh banyak pihak sebagai pelanggaran hukum internasional dan hak asasi manusia. Para kritikus berpendapat bahwa para aktivis memiliki hak untuk melakukan protes damai dan memberikan bantuan kemanusiaan, dan bahwa Israel tidak memiliki hak untuk menahan dan mendeportasi mereka. Tuduhan Israel bahwa para aktivis terkait dengan Hamas juga telah ditolak oleh banyak pihak, yang menunjukkan bahwa tuduhan tersebut tidak berdasar dan bertujuan untuk mendiskreditkan para aktivis dan tujuan mereka.
Seruan untuk Investigasi Independen
Menyusul laporan tentang perlakuan buruk yang dialami para aktivis, ada seruan yang meningkat untuk penyelidikan independen atas insiden tersebut. Para pendukung penyelidikan berpendapat bahwa hal itu diperlukan untuk mengungkap kebenaran tentang apa yang terjadi dan untuk meminta pertanggungjawaban mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia. Mereka juga berpendapat bahwa penyelidikan independen akan membantu mencegah insiden serupa terjadi di masa depan dan akan mengirimkan pesan yang jelas bahwa pelanggaran hak asasi manusia tidak akan ditoleransi.