Kasus praperadilan yang diajukan oleh mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim, memasuki babak baru dengan hadirnya pengacara kondang Hotman Paris Hutapea. Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Hotman Paris menggunakan analogi kasus pelecehan untuk memperkuat argumennya. Analogi ini muncul saat Hotman mempertanyakan ahli hukum pidana dari Universitas Al-Azhar, Suparji Ahmad, yang dihadirkan oleh pihak Kejaksaan Agung. Pertanyaan tersebut terkait dengan prosedur penetapan tersangka dalam kasus dugaan mark up yang menjerat Nadiem Makarim. Penggunaan analogi ini sontak menarik perhatian dan menjadi perdebatan di ruang sidang. Lantas, bagaimana sebenarnya jalannya sidang praperadilan tersebut dan apa implikasi dari analogi yang digunakan oleh Hotman Paris?
Perdebatan Prosedur Penetapan Tersangka
Hotman Paris mempertanyakan keabsahan prosedur penetapan tersangka terhadap Nadiem Makarim. Ia menyoroti bahwa kliennya ditetapkan sebagai tersangka kasus mark up tanpa pernah dimintai keterangan secara spesifik mengenai mark up yang dituduhkan. Hotman berpendapat, hal ini melanggar prinsip-prinsip hukum acara pidana yang menjamin hak setiap orang untuk didengar keterangannya sebelum ditetapkan sebagai tersangka.
Suparji Ahmad, sebagai ahli hukum pidana, menolak menjawab pertanyaan Hotman karena menganggapnya sudah masuk ke pokok perkara. Namun, Hotman bersikeras bahwa pertanyaannya masih seputar prosedur penetapan tersangka, yang menurutnya menjadi salah satu aspek yang dinilai dalam praperadilan. Perdebatan antara Hotman dan Suparji pun tak terhindarkan, dengan hakim ketua sidang beberapa kali meminta Hotman untuk tidak berdebat dengan ahli.
Analogi Kasus Pelecehan yang Kontroversial
Dalam upaya memperjelas maksud pertanyaannya, Hotman Paris menggunakan analogi kasus pelecehan. Ia bertanya, jika seseorang dituduh melakukan pelecehan terhadap seorang wanita, maka identitas korban harus jelas disebutkan. Begitu pula dalam kasus dugaan korupsi, menurut Hotman, harus jelas disebutkan siapa yang diperkaya, bagaimana cara memperkayanya, dan berapa jumlah yang diperkaya. Namun, dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Nadiem Makarim, Hotman tidak menemukan pertanyaan-pertanyaan spesifik mengenai hal tersebut.
Analogi ini menuai reaksi beragam. Suparji Ahmad berpendapat bahwa kasus pelecehan berbeda dengan kasus korupsi. Dalam kasus korupsi, unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain dapat dibuktikan melalui bukti-bukti lain, tidak harus melalui pertanyaan kepada tersangka. Namun, Hotman tetap berpendapat bahwa pertanyaan spesifik mengenai siapa yang diperkaya dan bagaimana caranya tetap penting untuk diajukan.
Tanggapan Ahli Hukum Pidana
Suparji Ahmad menegaskan bahwa pertanyaan spesifik mengenai siapa yang diperkaya bukanlah sebuah keharusan dalam proses penyidikan kasus korupsi. Ia menjelaskan bahwa kesimpulan mengenai adanya unsur memperkaya dapat ditarik dari bukti-bukti dan fakta-fakta lain yang ditemukan selama penyidikan. Bahkan, Suparji menambahkan, terkadang pertanyaan langsung kepada tersangka justru bisa membuat tersangka mengingkari perbuatannya, sehingga bukti-bukti lain menjadi lebih penting.
Penjelasan Suparji ini menunjukkan bahwa dalam hukum pidana, pembuktian suatu tindak pidana tidak hanya bergantung pada pengakuan tersangka, tetapi juga pada alat bukti lain yang sah. Alat bukti tersebut dapat berupa keterangan saksi, surat, petunjuk, keterangan ahli, dan barang bukti. Dengan demikian, penyidik tetap dapat membuktikan adanya tindak pidana korupsi meskipun tersangka tidak mengakui perbuatannya.
Tuntutan Nadiem Makarim dalam Praperadilan
Nadiem Makarim mengajukan permohonan praperadilan untuk membatalkan statusnya sebagai tersangka. Ia mengklaim tidak menikmati keuntungan pribadi dalam kasus dugaan korupsi yang menjeratnya. Selain itu, pihak Nadiem juga menyoroti bahwa penetapan tersangka dilakukan tanpa didahului dengan hasil audit kerugian keuangan negara dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Menurut pihak Nadiem, penetapan tersangka tidak sah karena tidak memenuhi syarat dua alat bukti permulaan yang cukup. Mereka berpendapat bahwa tanpa adanya hasil audit BPKP, tidak ada dasar yang kuat untuk menetapkan Nadiem sebagai tersangka. Hal ini sejalan dengan prinsip hukum bahwa seseorang tidak boleh ditetapkan sebagai tersangka tanpa adanya bukti yang cukup.
Bantahan dari Pihak Kejaksaan Agung
Kejaksaan Agung membantah seluruh dalil yang diajukan oleh pihak Nadiem Makarim. Kejagung menegaskan bahwa penetapan tersangka terhadap Nadiem dilakukan setelah penyidik memiliki alat bukti yang cukup. Pihak Kejagung juga berpendapat bahwa hasil audit BPKP tidak mutlak diperlukan dalam proses penyidikan kasus korupsi. Alat bukti lain, seperti keterangan saksi dan dokumen, juga dapat digunakan untuk membuktikan adanya tindak pidana korupsi.
Bantahan Kejagung ini menunjukkan bahwa mereka memiliki keyakinan yang kuat bahwa penetapan tersangka terhadap Nadiem Makarim telah sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Kejagung juga menegaskan komitmennya untuk menuntaskan kasus ini secara profesional dan transparan, dengan tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan dan kepastian hukum.