Korupsi dalam proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat (Kalbar) diduga telah merugikan negara hingga mencapai Rp 1,3 triliun. Kasus ini menyeret sejumlah nama, termasuk Halim Kalla, seorang pengusaha yang juga merupakan adik dari mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, serta mantan Direktur Utama PT PLN (Persero), Fahmi Mochtar. Kortas Tipidkor Polri telah menetapkan empat tersangka dalam kasus ini dan terus melakukan pendalaman untuk mengungkap seluruh pihak yang terlibat serta mengembalikan kerugian negara akibat praktik korupsi tersebut. Proyek PLTU 1 Kalbar yang seharusnya menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat, justru mangkrak dan menjadi ladang korupsi yang merugikan banyak pihak.
Korupsi ini terjadi dalam rentang waktu 2008 hingga 2018, yang mengakibatkan proyek pembangkit listrik tersebut terbengkalai. Dampaknya sangat signifikan, tidak hanya dari segi finansial, tetapi juga terhadap kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah dan BUMN. Kasus ini menjadi sorotan utama karena melibatkan tokoh-tokoh penting dalam dunia bisnis dan pemerintahan, serta nilai kerugian negara yang sangat besar.
Penetapan Tersangka Kasus Korupsi PLTU Kalbar
Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipidkor) Polri telah menetapkan empat orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek PLTU 1 Kalimantan Barat. Penetapan tersangka ini merupakan tindak lanjut dari penyelidikan yang mendalam dan pengumpulan bukti-bukti yang kuat. Keempat tersangka tersebut adalah:
- Fahmi Mochtar, mantan Direktur Utama PT PLN (Persero).
- Halim Kalla, Presiden Direktur PT Bakti Resa Nusa.
- RR, pihak swasta.
- HYL, pihak swasta.
Penetapan tersangka ini diumumkan oleh Kepala Kortas Tipidkor Polri, Irjen Cahyono Wibowo, dalam jumpa pers di Gedung Bareskrim Polri. Cahyono menjelaskan bahwa penetapan tersangka dilakukan setelah melalui serangkaian penyelidikan dan gelar perkara yang cermat. Polisi meyakini bahwa keempat tersangka tersebut memiliki peran penting dalam praktik korupsi yang menyebabkan kerugian negara yang sangat besar. Polisi juga terus mengembangkan kasus ini untuk mengungkap kemungkinan adanya tersangka lain yang terlibat.
Modus Operandi Korupsi Proyek PLTU
Modus operandi dalam kasus korupsi proyek PLTU 1 Kalbar ini melibatkan serangkaian tindakan yang terstruktur dan terencana. Menurut Irjen Cahyono Wibowo, praktik korupsi ini dimulai sejak tahap perencanaan proyek, di mana terjadi korespondensi dan pemufakatan untuk memenangkan pelaksanaan pekerjaan. Setelah kontrak ditandatangani, terjadi pengaturan-pengaturan yang menyebabkan keterlambatan proyek. Keterlambatan ini berlarut-larut hingga tahun 2018, dan proyek tersebut terbengkalai.
Akibat dari praktik korupsi ini, pembangunan PLTU 1 Kalbar mangkrak dan dinyatakan total loss oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kerugian negara mencapai 64.410.523 dollar AS dan Rp 323.199.898.518, atau setara dengan Rp 1,3 triliun jika dikonversikan ke rupiah. Modus operandi ini menunjukkan adanya kesengajaan dan niat jahat dari para pelaku untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan merugikan negara.
Proses Hukum dan Pasal yang Disangkakan
Kasus dugaan korupsi proyek PLTU 1 Kalbar ini awalnya ditangani oleh Polda Kalimantan Barat sejak 7 April 2021. Namun, pada Mei 2024, kasus ini diambil alih oleh Kortas Tipidkor Polri untuk penanganan lebih lanjut. Setelah melalui serangkaian penyelidikan dan pengumpulan bukti, Kortas Tipidkor menetapkan empat orang sebagai tersangka pada 3 Oktober 2025.
Keempat tersangka tersebut disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 KUHP. Pasal-pasal ini mengatur tentang perbuatan melawan hukum yang menyebabkan kerugian negara dan penyalahgunaan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain. Ancaman hukuman bagi pelaku korupsi berdasarkan pasal-pasal ini adalah pidana penjara dan denda yang signifikan. Meskipun telah ditetapkan sebagai tersangka, polisi belum melakukan penahanan terhadap Halim Kalla dan kawan-kawan. Proses hukum akan terus berlanjut untuk mengungkap seluruh fakta dan pihak yang terlibat dalam kasus ini.