Pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada tanggal 18 November 2025 lalu telah memicu gelombang kritik tajam dari berbagai elemen masyarakat sipil. KUHAP baru ini dinilai tergesa-gesa dan berpotensi menimbulkan kekacauan hukum karena minimnya aturan pelaksana yang memadai. Koalisi Masyarakat Sipil bahkan menemukan setidaknya 40 pasal bermasalah yang dianggap mengancam hak-hak warga negara. Penolakan terhadap KUHAP baru ini didasarkan pada kekhawatiran akan ketidakjelasan norma hukum, potensi penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum, hingga ancaman terhadap independensi lembaga peradilan. Masyarakat sipil mendesak Presiden Republik Indonesia untuk segera mengambil langkah konstitusional dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan atau setidaknya menunda pemberlakuan KUHAP tersebut, demi mencegah kekacauan hukum yang lebih luas dan membuka ruang untuk revisi yang lebih komprehensif. Ketidakpastian hukum ini dikhawatirkan akan berdampak buruk pada sistem peradilan pidana dan mengancam kepastian hukum bagi seluruh warga negara.
Kekhawatiran akan Minimnya Aturan Pelaksana KUHAP Baru
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, secara tegas menyatakan bahwa KUHAP baru membutuhkan setidaknya 25 Peraturan Pemerintah (PP), satu Peraturan Presiden, satu Peraturan Mahkamah Agung, dan satu undang-undang turunan. Ketiadaan aturan pelaksana ini akan menyebabkan norma-norma dalam KUHAP menjadi tidak jelas dan membuka celah bagi penyimpangan di setiap tahapan proses hukum. Hal ini akan memaksa aparat penegak hukum bekerja di tengah ketidakpastian dan tumpang tindih aturan, sehingga berpotensi mengganggu proses penegakan hukum yang adil dan transparan.
Isnur mencontohkan kasus KUHP baru yang telah diberi waktu transisi selama tiga tahun, namun hingga saat ini masih belum memiliki aturan pelaksana yang lengkap. Ia menggambarkan betapa kacaunya situasi yang akan terjadi jika KUHP dan KUHAP dipaksakan berlaku bersamaan tanpa aturan pelaksana yang memadai, sosialisasi yang kurang dari empat minggu, dan tanpa kesiapan dari institusi terkait. Kekacauan ini akan merugikan masyarakat dan menciptakan ketidakpercayaan terhadap sistem peradilan.
40 Pasal Bermasalah dalam KUHAP yang Mengancam Hak Warga
Koalisi Masyarakat Sipil telah mengidentifikasi setidaknya 40 masalah substansial dalam KUHAP baru yang berpotensi mengancam hak-hak warga negara. Pasal-pasal tersebut meliputi:
- Pasal tentang penangkapan yang dinilai rentan disalahgunakan.
- Kewenangan super yang diberikan kepada Polri, yang dapat mengancam independensi penyidik khusus.
- Potensi pemerasan di balik skema restorative justice.
- Pembatasan hak-hak tersangka dan terdakwa dalam proses peradilan.
- Kriminalisasi terhadap kelompok minoritas dan rentan.
Pasal-pasal bermasalah ini dinilai tidak sejalan dengan prinsip-prinsip negara hukum dan hak asasi manusia. Pemberlakuan KUHAP dengan pasal-pasal yang bermasalah ini akan mengancam kebebasan sipil dan menciptakan ketidakadilan dalam sistem peradilan.
Mendesak Penerbitan Perppu untuk Batalkan atau Tunda KUHAP
Melihat potensi kerusakan yang lebih jauh pada sistem peradilan pidana, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak Presiden untuk mengambil langkah konstitusional. Satu-satunya cara untuk mencegah kekacauan hukum dan membuka ruang revisi menyeluruh adalah dengan mencabut atau menunda pemberlakuan KUHAP melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Perppu dianggap sebagai mekanisme yang paling tepat dan cepat untuk mengatasi kegentingan regulasi yang ditimbulkan oleh pengesahan KUHAP baru. Dengan adanya Perppu, pemerintah dapat menunda pemberlakuan KUHAP dan melakukan revisi terhadap pasal-pasal yang bermasalah, serta menyiapkan aturan pelaksana yang lebih komprehensif. Langkah ini diharapkan dapat menciptakan sistem peradilan pidana yang lebih adil, transparan, dan akuntabel.
